Tari Indang: Warisan Islam yang Hidup di Tanah Minangkabau
Abdul Jamil Al Rasyid, Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas
TARI Indang, atau dikenal juga sebagai Tari Badindin, adalah salah satu seni tradisional khas Minangkabau yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Berawal dari surau—pusat pendidikan agama di Minangkabau—Tari Indang menjadi manifestasi akulturasi budaya lokal dan Islam yang berkembang sejak abad ke-13.
Menurut Nasrul Azwar, seorang aktivis budaya di Padang, Tari Indang mencerminkan perpaduan budaya Minang dan Islam yang mulai menyebar pada abad ke-14. Islam pertama kali hadir melalui pedagang yang masuk ke pesisir Aceh, lalu menyebar ke wilayah Ulakan-Pariaman. Di surau, tari ini diperkenalkan sebagai media pendidikan agama, di mana lagu-lagu pengiringnya berisi dakwah dan nilai-nilai Islam.
Dari Surau ke Panggung
Awalnya, Tari Indang hanya dipentaskan di surau selepas aktivitas mengaji. Namun, seiring waktu, seni ini mulai tampil di laga-laga—tempat terbuka tanpa dinding yang memungkinkan penonton menikmati pertunjukan dari segala arah.
Kekhasan Tari Indang terletak pada gerakannya yang dinamis, penuh keceriaan, dan dilakukan secara kompak oleh kelompok penari, yang disebut "anak indang." Mereka menari sambil berdendang, diiringi alat musik indang (semacam rebana kecil) dan dipimpin oleh seorang tukang dzikir. Gerakan ini mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan.
Keunikan dan Perkembangan
Di masa lalu, setiap nagari di Pariaman memiliki kelompok Indang sendiri yang dianggap sakral. Setiap kelompok dipimpin oleh "sipatuang sirah," seorang sesepuh dengan kemampuan menjaga keselamatan kelompoknya dari ancaman luar. Pertunjukan Indang juga memiliki waktu khusus: pada malam hari, dimulai tengah malam atau selepas sholat Maghrib, tergantung harinya.
Dalam perjalanannya, Tari Indang juga dikenal sebagai karya Rapa’i, pengikut Syekh Burhanuddin, tokoh yang mempopulerkan tradisi Tabuik di Pariaman. Hingga kini, Tari Indang terus dilestarikan, terutama di Kabupaten Padang Pariaman. Tarian ini sering menghiasi acara-acara adat seperti batagak kudo-kudo dan festival budaya.
Pesan dalam Gerak
Selain sebagai media dakwah, Tari Indang kini juga menjadi sarana pergaulan muda-mudi. Lagu pengiringnya, “Dindin Badindin,” melodi Islami, disertai elemen maqam, iqa’at, dan avaz, membawa sentuhan khas Timur Tengah. Tidak hanya itu, kekayaan nilai filosofis dan estetika dalam tarian ini menjadikannya bagian tak terpisahkan dari budaya Minangkabau.
Tari Indang bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga cerminan harmoni budaya dan agama yang terus hidup di tengah masyarakat. Sebuah warisan yang patut dibanggakan dan dijaga keberlangsungannya.
Penulis :
Abdul Jamil Al Rasyid
Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas
Lahir di Padang Pariaman,
Berita Lainnya
Keberlanjutan Bumi, Terapkan Nilai Go Green pada Generasi Alpha
Menakar Partisipasi Pemilih
Menjelang 2025, Bagaimana Keberlanjutan Industri Kerajinan Kecil di Malaysia?
Kebohongan Demi Kebohongan
Mahasiswa, Kegiatan di Kampus dan Menjemput Masa Depan
Peran Teknologi AI Membantu Pembangunan Kota Pintar
Keberlanjutan Bumi, Terapkan Nilai Go Green pada Generasi Alpha
Menakar Partisipasi Pemilih
Menjelang 2025, Bagaimana Keberlanjutan Industri Kerajinan Kecil di Malaysia?
Kebohongan Demi Kebohongan
Mahasiswa, Kegiatan di Kampus dan Menjemput Masa Depan
Peran Teknologi AI Membantu Pembangunan Kota Pintar