Sosok
Intan Hoesin yang Membangun Kantor Camat Kuantan Tengah dengan “Botol”
SULIT memang dipercaya bahwa kantor Tjamat (baca Camat) Kuantan Tengah “tempoe doeloe” dibangun dari hasil penjualan BOTOL yang dikumpulkan masyarakat. Tapi itulah realitasnya!
Masyarakat Kecamatan Kuantan Tengah secara swadaya membangun kantor camat dari hasil penjualan botol. Itulah salah satu episode perjalanan sejarah yang catatannya mungkin sudah hilang. Untung masih ada yang mengenangnya.
Lalu bagaimana ceritanya……?
Inilah kisah pembangunan kantor camat Kuantan Tengah diceritakan kembali oleh Drs. RUSTIAN NOER - salah seorang anak camat Kuantan Tengah yang berstatus sebagai asisten wedana, Kabupaten Indragiri: INTAN HOESIN gelar RANG KAYO SUTAN (1964-1970).
"Ketika Ayahanda dilantik jadi camat Kuantan Tengah 1964, ayahanda masih numpang di kantor kewedanaan Rantau Kuantan.
Ayahanda berkeinginan memiliki kantor sendiri sebagaimana sebelumnya ketika menjabat camat di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik kurun waktu 1960-1963," kata Rustian seperti ditulis oleh Sahabat Jang Itam.
Ibarat kata pepatah: seenak-enaknya numpang atau tinggal di rumah orang, enak juga di rumah sendiri.
Ayahanda lalu berinisiatif membangun kantor baru. Ayahanda mengumpulkan Pak Banjar –sekarang Kepala Desa yang ada di Kecamatan Kuantan Tengah. Mulai dari Kari, Telukkuantan, Sentajo, Benai, Sibarakun, Simandolak, Kopah, Jake, dan Teratak melaksanakan musyawarah.
Dihadapan Pak Banjar inilah Ayahanda menyampaikan keinginannya untuk membangun kantor camat. Ternyata gayung bersambut. Keinginan Ayahanda rupanya didukung oleh seluruh Pak Banjar.
“Keinginan Pak Camat itu keinginan kami juga. Tapi kami tak punya kuasa untuk melaksanakannya. Keinginan Pak Camat ini harus terwujud. Jika tidak kita siapa lagi. Jika tidak sekarang kapan lagi. Mari kita mulai kerja mulia ini dengan niat yang mulia, Pak Camat,” ujar Pak Banjar dari Kenegerian Sentajo, H. MOHAMAD SAMIN.
Mohamad Samin adalah salah seorang tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Rantau Kuantan dan orang tua dari tokoh masyarakat Kuantan Singingi dan Sejarawan Riau PROF. H. SUWARDI MS.
Namun ketika ayahanda menyampaikan persoalan dana untuk mewujudkan bangunan tersebut, sejenak Pak Banjar yang hadir terdiam sejenak. Mereka ikut berpikir bagaimana mencari dana untuk pembangunan tersebut. Tapi tekad mereka sudah bulat. Ibarat pepatah Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Sekali kata terucap, pantang untuk ditarik kembali.
Ayahanda lalu minta saran dan pendapat Pak Banjar bagaimana solusinya. Berbagai usulan muncul ditawarkan oleh peserta rapat. Di antara usulan tersebut yang paling unik itu soal botol.
Ide unik diusulkan ayahanda kepada peserta rapat. Ini berangkat dari pengalamanya ketika berjuang melawan Jepang dan Belanda. Di tengah hutan, di tengah perjuangan itu, jika kita haus “dewa” penyelamat adalah air yang disimpan dalam botol.
Kenapa….?
Ayahanda menceritakan kisah sebuah botol dalam sebuah perjuangan. Sebuah pengalaman pribadi yang patut disimak. Sebuah botol memang tidak ada nilai jualnya. Berserakan pun orang akan membiarkannya. Namun jika botol itu dikumpulkan dalam jumlah yang banyak tentu nilainya jualnya akan lain.
Akhirnya diperoleh kata sepakat: bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat. Masing-masing Pak Banjar menggerakkan warganya mengumpulkan botol. Murid-murid sekolah, pemuda, dan perangkat yang ada di Banjar masing-masing dikerahkan untuk mengumpulkan botol.
Usaha keras itu berhasil. Dalam waktu enam bulan terkumpullah botol dalam jumlah banyak. Botol itu lalu dijual untuk pembangunan kantor yang mereka impikan itu. Alhamdulillah dalam waktu enam bulan hasil penjualan botol bisa membangun kantor camat Kuantan Tengah.
Berdirilah kantor camat pertama Kuantan Tengah yang berlokasi di antara kantor Polisi Sektor Kuantan Tengah dengan PT. Telkom.
Pembangunan kantor selesai seluruh pegawai yang semula bergabung di kewedanaan yang berada di sebelah kantor Pekerjaan Umum (PU) lama dengan kantor Pos & Giro, pindah ke kantor baru.
Waktu pindah kantor tahun 1965 itulah ayahanda mengundang seluruh Pak Banjar dan perangkatnya di Kuantan Tengah untuk doa syukuran. Tentu dengan bangga mereka datang menyaksikan hasil sumbangan mereka yang dulu dianggap sepele sekarang sudah berwujud bangunan siap dan layak pakai.
Di situlah ayah berpidato dengan mata berkaca-kaca. Rasa haru dan bangga tak terkira yang tersimpan di dalam hati tumpah ruah pada acara tersebut. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada Pak Banjar yang dengan ikhlas mengumpulkan botol sehinggga bangunan kantor camat Kuantan Tengah bisa diselesaikan.
Kendati pidato peresmian disampaikan Intan Hoesin tapi sangat bermakna, menyentuh, dan menusuk ke kalbu siapapun pendengarnya. Tak hanya jago menyampaikan yang tersurat, yang tersiratpun disamaikannya dengan bahasa yang sederhana, santun, apa adanya dan ringan.
Kelak kantor camat itu mempunyai fungsi ganda. Namanya saja kantor milik rakyat. Tatkalah pacu jalur berlangsung, banyak pula orang yang numpang pasang tenda tidur di halaman kantor camat tersebut karena tidak muat di dalam. Suasana kebatinan dan kekeluargaan itu terjalin dengan akrab di kantor camat yang disebut Intan Hosein milik rakyat tersebut.
Cerita pembangunan kantor camat Kuantan Tengah dari botol sampai kini masih diingat dan sering diceritakan masyarakat Kecamatan Kuantan Tengah yang berumur di atas 50 tahunan.
Begitu juga dengan anak sekolah yang menempuh pendidikan antara waktu 1960-an s.d 1990 an. Sebab, guru mereka di sekolah selalu menceritakan kisah itu untuk memberikan semangat agar terus mengejar ilmu setinggi langit.
Saya sebagai salah seorang anak Intan Hoesin tidak akan melupakan kisah itu. Kisah itu nyata dan perlu juga diketahui oleh generasi penerus di Kuantan Singingi bahwa motto: bersama kita bisa itu memang luar biasa hasilnya.
Lama saya tutup cerita ini. Tapi seiring perjalanan waktu dan usia yang makin menua, saya “ingin” berbagi atau menceritakan kembali kisah yang tergolong heroik ini. Saya tak bermaksud ria apalagi menyombangkan diri.
Saya hanya menyampaikan realitas sejarah sebagai anak camat Kecamatan Kuantan Tengah yang melihat dan mendengar cerita pembangunan kantor camat tersebut langsung dari sumbernya: ayah saya sendiri: Intan Hoesen gelar Rang Kayo Sutan.
Mohon maaf, jika yang saya sampaikan ini salah atau tak berkenan. Sebab, saya punya keyakinan kebenaran hakiki itu hanya milik Allah. Dan, kesalahan yang dilakukan tiap manusia bukan untuk di-ceme'eh, tapi untuk diperbaiki.
Sebagai hamba Allah dengan segala keterbatasan saya menyampaikan sekali lagi maaf sekali lagi maaf.
Intan Hoesin gelar Rang Kayo Sutan merupakan putra Kuantan Singingi yang namanya mungkin terlupakan oleh generasi zaman sekarang. Intan sapaan akrabnya adalah salah seorang pejuang kemerdekaan yang pada akhirnya merintis karier sebagai pegawai pemerintahan.
Perjuangan Intan Hoesin sebagai tentara bermula saat pendudukan Jepang tahun 1942 hingga menyerah kepada sekutu 14 Agustus 1945.
Pasca kemerdekaan pada tahun 1946 ketika berusia 32 tahun, Intan Hoesin ditunjuk sebagai Komandan Polisi Militer (CPM) pada Compi TNI di Telukkuantan dengan pangkat LETNAN II.
Sebagai “Polisi Tentara”, pada Agresi Belanda II Desember 1949, Intan Hoesin menjadi Wakil Kepala Staf Off Suply Riau Selatan. Usai agresi Belanda II pemerintah memberikan dua opsi kepada pejuang: melanjutkan karier bergabung di TNI atau pindah di pemerintahan.
Intan Hoesin memilih berkarier di pemerintahan. Pertama ia ditempatkan sebagai juru usaha Tk. I pada Kantor Distribusi Dinas di Telukkuantan. Selanjutnya pada 1953, ia pindah ke kantor Bupati Indragiri di Rengat.
Pada 1959, Intan Hoesin pindah lagi ke kantor Kewedanaan Kuantan di Telukkuantan. Setahun kemudian pada 1960, ia dipercaya memegang jabatan camat di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik sampai 1963. Dalam kurun waktu 3 tahun tersebut, ia berhasil menuntaskan pembangunan SMP pertama di Lubuk Jambi, los Pasar Lubuk Jambi, dan membangun SD di setiap desa.
Di SMP Lubuk Jambi itu pula MOHAMAD DIAH - Rektor Universitas Riau (Unri) Pekanbaru (1993-1997) jadi kepala SMP Lubuk Jambi (1961-1964). Dari Lubuk Jambi, Mohammad Diah pindah ke Pekanbaru dan diangkat menjadi Kepala SMP PGRI (1967-1972). Setelah itu menjadi Kepala SMPP Negeri 49 (kini SMA Negeri 8) Pekanbaru (1975-1976).
Sebagai camat Kuantan Mudik, Intan Hoesin dipercaya oleh Pemerintah Pusat menjembatani penyerahan pejuang yang tergabung dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) ke pangkuan ibu pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Atas kepercayaan itu Intan Hoesin berhasil mengajak pejuang PRRI turun gunung kembali ke pangkuan NKRI. Penyerahan itu dilaksanakan di SD 01 LUBUK JAMBI dalam sebuah kenduri besar dengan melakukan pemotongan sapi.
Kembalinya pejuang ke pangkuan NKRI disaksikan pasukan dari Batalion Diponegoro dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang memang ditugaskan oleh pemerintah Pusat untuk mengambalikan pemeritahan PRRI ke pangkuan NKRI.
Pada 1963, Intan Hoesin dipindah ke Telukkuantan menjadi camat Kecamatan Kuantan Tengah. Waktu itu kantornya masih bergabung dengan wedana (pembantu bupati).
Saat itulah perjuangannya dimulai. Intan Hoesin mulai berpikir bagaimana caranya membangun kantor kecamatan Kuantan Tengah. Niat itu terkendala oleh persoalan anggaran tak ada. Namun ia tak kehilangan akal. Ia lalu memanggil seluruh Kepala Banjar (kenegerian - Desa) musyawarah.
Disepakati masing-masing Pak Banjar mengumpulkan botol untuk dijual. Tak sampai enam bulan terkumpul untuk pembangunan kantor camat. Terkumpul, kantor camat pun berdiri dengan megah.
Selain itu Intan Hoesin merintis pembangunan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Telukkuantan. Kepala Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Tk. I Provinsi Riau pernah berkunjung ke SPG ketika dipimpin oleh MASPERI.
“Ayah saya yang menjemput langsung ke Pekanbaru,” kenang Rustian.
Sayang, sekolah tersebut jejaknya kini hilang tanpa bekas. Di atas tanah bekas salah satu sekolah pencetak guru di Riau sudah berdiri Pasar Rakyat. Atas nama masa depan dan pembangunan, bangunan sekolah itu dirobohkan tanpa meninggalkan monumen yang menunjukkan dulu di sini ada bangunan sekolah. Begitu juga bangunan SMP 2 Telukkuantan yang ada disampingnya direlokasi ke Desa Beringin Telukkuantan.
Padahal jika bangunan tersebut tetap dipelihara betapa banyaknya jejak sejarah yang bisa ditautkan kembali terutama oleh alumninya dan anak-anaknya yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Sayang, tapi apa handak dikata. Nasi sudah bubur, bangunan bersejarah berkatagori cagar budaya itu tinggal nama.
Bangunan SPG Telukkuantan itu punya sejarah panjang. Sebelum dijadikan SPG, bangunan sekolah itu merupakan bekas GEDUNG SEKOLAH TIONGHOA di Telukkuantan yang berdiri sejak zaman Belanda. Pendirian
Pendirian sekolah sebagai bentuk reaksi terhadap ketidakpedulian pemerintah Hindia Belanda kepada etnis Tionghoa di Indonesia. Pada 1909 Perhimpunan Masyarakat Tionghoa yakni Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) mendirikan sekolah yang bernama Tiong Hoa Hok Tong (THHT). Sekolah ini kemudian berganti nama menjadi Tiong Hoa HWE Koan. Sekolah tersebut sering disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau sekolah Cina.
Intan Hoesin juga membuat jalan di depan STM kini SMK 1 Telukkuantan menuju Desa Beringin. Jalan itu kini dinamakan Intan Hoesin. Sayang papan plang nama sebagai penanda bahwa jalan yang dulu dibangun dengan gotoroyong pada Sabtu dan Minggu itu hilang tanpa bekas.
“Sebagai anak saya hanya bisa mengurut dada. Tak ada lagi papan plang nama ayah saya sebagai penanda JALAN INTAN HOESIN di sepanjang jalan tersebut. Saya hanya bisa mengetuk hati Pak Bupati C.q Dinas Perhubungan buatlah kembali papan plang tersebut sebagai penanda jalan Intan Hoesin.
Penamaan Jalan Intan Hoesein kata Rustian Noer semata-mata bukan untuk diri maupun keluarga besarnya. Melainkan sebagai sebuah penghargaan kepada masyarakat Kuantan Tengah yang waktu itu berjuang untuk mewujudkan pembangunan jalan tersebut.
“Bukan kami sa(# yang bangga jika nama jalan itu ada tapi seluruh masyaratakat yang ikut akan merasakannya. Saksi hidupnya sekarang mungkin masih ada, kendati sudah banyak yang meninggal dunia,” harap Rustian.
Saat jadi camat di Kuantan Tengah Intan Hoesin “menghidupkan” tradisi pacu jalur yang mati suri di Tepian Narosa Telukkuantan. Acara serimonial seperti “maelo” jalur dihidupkan kembali. Sore hari setelah pacu jalur dilaksanakan pertandingan sepakbola di lapangan Limuno Telukkuantan.
Pada malam harinya juga digelar panggung kesenian dengan mengundang artis Melayu tempo dulu. Hadiah juga ditambah sehinggga anak pacu jalur kembali bergairah.
Saking antusiasnya masyarakat menyaksikan acara pacu jalur ketika itu, masyarakat relah berkemah di tempat tambatan jalur untuk menyaksikan hiburan pada malam harinya.
Ada istilah anak gadis dan bujang pergi "badombai" nonton pacu jalur siang hari dan nonton hiburan pada malam hari. Jika tak ada duit ayam “maoram di sangkak”(menetas di tempatnya) pun dijual untuk menyaksikan pacu jalur tersebut.
Dan usai acara pacu jalur itulah banyak yang dapat jodoh. Indahnya cinta itu. Begitulah gambarannya kala itu. Baju baru dengan merk terkenal yang selama ini disimpan dalam almari hanya keluar pada saat hari raya dan pacu jalur.
Panitia pacu jalur yang diketuai Intan Hoesin juga mengundang BUPATI INDRAGIRI, MASNOER. Ketika menjabat bupati Indragiri (23 April 1960 sampai 26 September 1976), Masnoer rajin menghadiri acara pacu jalur. Sang bupati yang berasal dari Militer ini di daulat membuka dan menutup acara pacu jalur.
Selama 6 tahun menjadi camat di Kuantan Tengah, pemenang pacu jalur di tepian Narosa adalah: Toduang Kuantan Tanah Bekali Pangian (1963 dan 1964), Tanjung Baru Tanjung Simandolak (1965), Bomber Siberakun (1966 dan 1967), Rajo Bujang Padang Tanggung Pangian (1968), Cahaya Baru Sukaping Pangian (1969), dan Bomber Siberakun (1970).
Selama perhelatan pacu jalur digelar sejak tahun Bomber dari Sibarakun memang paling banyak meraih juara. Dan, dari iven daerah, pacu jalur kini sudah berkembang menjadi iven nasional Iven nasional pacu jalur tradisional di Tepian Narosa Teluk Kuantan.
Sayang nilai-nilai budaya yang dulu kental sekarang mulai diabaikan. Pacu jalur sudah berangsur-angsur berubah menjadi olahraga prestasi. Dulu tukang tari di luan jalur dan tukang onjai di kemudi bangga bisa melaksanakan tugasnya dari pancang star sampai ke garis finis.
Sekarang lihatlah di-youtube tentang pacu jalur, baru saja jalur itu dilepas hakim di pancang star, tukang tari dan onjai sudah terjun ke sungai karena dinilai menghambat lajunya jalur. Dan, rasa kebanggaan dan persamaan masyarakat di kampung juga hanya tinggal nama.
Jika ada jalur yang menang pada hari pertama, pada hari kedua dan seterusnya tengoklah siapa dan dari mana anak pacunya. Di-barter dari kampung sebelah yang sudah jelas kalah tapi di “pakai” – untuk menjadi anak pacu supaya juara.
Dulu lihatlah ketika BOMBER dari Sibarakun atau "TODUANG" KUANTAN" Tanah Bekali Pangian jadi juara. Anak pacu seluruhnya dari desa atau kenegerian asal jalur tersebut. Tukang tari dan tukang onjainya pun berdiri kokoh dari pancang star sampai finish. Menari, melenggang, dan melengok memberikan semangat kepada pemacunya.
Indahnya tarian tukang tari dan tukang onjai jalur tersebut mampu menghipnotis penonton. Kaki mereka kokoh berdiri di atas jalur di antara gelombang sungai Kuantan yang terkadang tak bersahabat itu.
Sekarang lihatlah pacu jalur di Kuantan Singingi sangat menyesakkan dada. Tapi itulah yang terjadi jika “kepentingan” sudah bicara. Desa yang punya jalur terkadang hanya bisa melihat anak jalur dari kampung mereka ikut pacu pada hari pertama. Selanjutya jika menang, mereka bisa melihat di jalur mereka sudah ada anak pacu dari desa tetangga yang ikut.
Itu pertanda budaya pun jadi hilang. Pacu jalur sekarang seakan ada tanpa makna. Masya Allah.
Malas nak cakap…… kebanggaan itu mulai sirna seiring masuknya kepentingan yang mengabaikan nilai nilai budaya.
Intan Hoesin lahir di Desa Kenek Poriang - kini Desa Pulau Aro, Kecamatan Kuantan Tengah pada 1914. Mengkhiri tugasnya sebagai pegawai negeri pada 1970 berdasarkan SKP Gubernur Riau tgl. 12 Juni 1970 No.UP.009/PENS/37 /1970.
Sebagai pegawai, jenjang pendidikan Intan Hoesin tidaklah tinggi. Ia hanya menempuh pendidikan Sekolah Rakyat di Telukkuantan tamat tahun 1928. Kemudian melanjutkan sekolah Perguruan Agama Islam dan turut dalam latihan perwira di Pekanbaru tahun 1947.
Tapi jangan tanya kemampuannya dalam menggunakan bahasa asing. Intan Hoesin bahasa Inggris, Belanda karena sebelumnya pernah ikut kursus kedua bahasa tersebut.
Tak hanya Intan Hoesin rata-rata pejuang kemerdekaan tempo dulu mengerti bahasa Inggis dan Belanda. Bahkan ada juga yang bisa bahasa Belanda, Jepang, Inggris, Jerman, dan Arab seperti halnya RADJA ROESLI dan KH UMAR USMAN.
Ketika pensiun, Intan Hoesin pernah diminta Bupati Indargiri Hulu DOELHARSONO, S.H untuk menulis buku Napak Tilas Sejarah Rantau Kuantan.
“Pak Intan Hoesin tolong tulis Sejarah Rantau Kuantan nanti saya kasih uang,” ujar Doelharsono yang menjabat Bupati Indragiri Hulu pada 26 September 1976 s.d 13 Juni 1984.
Intan Hoesin pun bersemangat menulis buku itu. Tiap jumpa di acara pacu jalur di Telukkuantan, sang bupati bertanya perkembangan buku itu. “Bagaimana kelanjutan bukunya Pak Intan Hooesin,” tanya sang bupati yang berasal dari kalangan militer ini.
Intan Hoesin hanya tersenyum menjawabnya: “Buku itu sedang saya lengkapi. Sabar ya, Pak Bupati,” ujar Intan Hoesin dengan lembut.
Sayang, ketika buku mau dicetak konsep buku itu hilang dipinjam mahasiswa sebagai bahan skripsi untuk penyelesaian kuliahnya di Unri, Pekanbaru. Sampai ayah kami meninggal dunia tahun 1987 dan dikebumikan di TPU Seberang Taluk, konsep buku itu tidak pernah kembali lagi.
Menurut Rustian yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) Kabupaten Kuantan Singingi mengatakan kendati konsep buku yang ditulis ayahnya itu hilang tanpa bekas, namun memorinya masih mengingat jelas perjuangan ayahnya.
Hal ini didukung dari dokumen berupa surat keterangan, ijazah, daftar pertanyaan riwayat hidup, kliping koran yang ada tentang ayahnya yang masih disimpan rapi. Kendati tidak lengkap alias banyak yang hilang, tapi cukup untuk menelusuri perjalanan ayahnya yang ikut mewarnai rantau Kuantan – kini Kuantan Singingi sejak dulu.
Intan Hoesin punya tiga istri. Istri pertamanya Wahalifa meninggal dunia pada 1952. Kemudian ketika jadi camat Kuantan Mudik ia menikah lagi dengan Dahniar pada awal tahun 1953. Setelah itu menikah lagi dengan Herawaty.
Dari pernikahan dengan empat istrinya: Halifa,
Dahniar, Nuraini dan Hernety. Intan Hoesin punya 11 orang buah hati yakni: Nur Affan, Mawardi, Rosmainur, Suhaimi, Supri, Kadri Anam, Rustian Noer, Herianto, Novita Dewi, Nirwanis, dan Nivarovita. Tentu sang anak juga sudah memberikan banyak cucu dan cicit untuk kakek yang mereka cintai: Intan Hoesin Rang Kayo Sutan.
Dimata anaknya Rustian Noer, ayahandanya adalah sosok pekerja keras. “Di mana ayahanda kami bertugas di situ pula ada peninggalannya. Ayahanda kami dipercaya juga sebagai “juru damai” antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Yakni antara PRRI dan NKRI. Berkat ayahanda pejuang rantau Kuantan yang tergabung dalam PRRI kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” kenang Rustian Noer.
Rustian Noer mengatakan, apa yang dilakukan ayahandanya dulu di Rantau Kuantan kini Kuantan Singingi biarlah menjadi amalnya kelak di kemudian hari. Dan ini sebagai bukti, sejak dulu ayahanda kami sudah berbuat untuk Kuantan Singingi sebagaimana halnya Radja Roesli dari Lubuk Jambi, Mohammad Noer Rauf (Basrah), Umar Usman (Telukkuantan).
Termasuk generasi penerusnya sebut saja Jafri Kacak dari Basrah, Asparaini Rasyad, Aman Nijas (Sentajo), Rasiman Rauf (Baserah) dan lainnya.
Di mata pejuang pemekaran Kuantan Singingi yang dulu bergabung dengan Ikatan Pemuda Mahasiswa Kuantan Singingi (IPMAKUSI) Pekanbaru, DEDI ARISANDI, S.Pi sosok Intan Hoesin sangan “melegenda” di Kuantan Tengah. Kendati secara fisik dirinya tidak menegenal almarhum Intan Hoesin itu.
Menurut Sandi tak akan lekang dalam ingatannya ketia duduk dibangku SD di Telukkuantan gurunya tahun 1980-an selalu menceritakan tentang perjuangan Intan Hoesin dengan botolnya membangun kantor camat Kuantan Tengah.
Bahkan, kata Sandi tiap minggu gurunya menyuruh siswanya membawa botol ke sekolah. Botol itu dikumpulkan lalu dijual. Hasil penjualan itu untuk membeli kapur dan alat-alat tulis lainnya. Jadi botol itu sangat bermakna.
Belakangan kata Sandi siswa yang nakal atau sering bolos dihukum membawa botol sekolah.“Saya pernah jadi korban membawa botol gara-gara bolos ke sekolah. Mencari botol itu mudah, tapi malunya itu tak ketulungan, Hahaha,” kenang Sandi.
“Dulu ada barang baru ada uang, sekarang ada uang baru ada barang,” ujar Pak Itam – panggilan akrab Sandi, mantan aktivis mahasiswa di Riau yang terkenal degil, berkulit hitam, dan berani ini tersenyum.
KINI, Kecamatan Kuantan Tengah makin berkembang dan menjadi ibukota Kabupaten Kuantan Singingi. Kecamatan ini mekar jadi dua yakni Benai dan Sentajo Raya pada 2012.
“Tuah sakti hamba negeri esa hilang dua terbilang. Patah tumbuh hilang berganti takkan melayu hilang di bumi.”
Kebanggaan Rustian Noer terhadap Ayahanda tercinta ibarat puisi “Takkan Melayu Hilang Di Bumi” karya Dra. Hj. AISYAH: Langkat, 07 Februari 2021
Darah Melayu mengalir di tubuhku
Dalam raga dia menyatu
Terlahir Melayu membuatku bangga
Dan jangan coba-coba kalian cerca
Bahwa Melayu lemah adanya
Bahwa Melayu tak punya apa-apa
Bahwa Melayu telah sirna
Andai kalian berani merendahkan Melayu
Kami akan bersatu membuktikan padamu_
Bahwa Melayu kuat
Bahwa Melayu hebat_
Bahwa Melayu bermartabat
Coba layangkan pikiranmu pada sejarah
Bacalah tulisan dalam berbagai kisah_
Akan kau temui kisah Melayu yang penuh berkah
Yang rela bersimbah darah
Demi mengusir para penjajah
Yang giat berdakwah
Demi mengajak umat ke jalan Allah yang Rahmah.
Wahai seluruh pemuda Melayu nan bertuah
Mari kita songsong masa depan yang cerah
Mari bersama kita berbenah
Jangan biarkan Melayu punah
Oleh prilaku yang banyak ulah
Tuah sakti hamba Negri
Esa hilang dua terbilang
Patah tumbuh hilang berganti
Tak Melayu hilang di Bumi
Empat petuah Hang Tuah yang harus selalu tersimpan di hati
Yang menjadi pemicu diri
Untuk menghidupkan Melayu di seluruh Negri
Agar berjaya hingga akhir nanti.
Ditulis: Sahabat Jang Itam
Berita Lainnya
Menjelang 2025, Bagaimana Keberlanjutan Industri Kerajinan Kecil di Malaysia?
Kebohongan Demi Kebohongan
Mahasiswa, Kegiatan di Kampus dan Menjemput Masa Depan
Peran Teknologi AI Membantu Pembangunan Kota Pintar
Charta Politika: Kenaikan Elektabilitas Doktor Ikhsan dan Kharisman Risanda Mencengangkan
Tragedi Kebakaran 2 Rumah Wartawan Sumut: Berita Dinanti Kritis Dihabisi
Menjelang 2025, Bagaimana Keberlanjutan Industri Kerajinan Kecil di Malaysia?
Kebohongan Demi Kebohongan
Mahasiswa, Kegiatan di Kampus dan Menjemput Masa Depan
Peran Teknologi AI Membantu Pembangunan Kota Pintar
Charta Politika: Kenaikan Elektabilitas Doktor Ikhsan dan Kharisman Risanda Mencengangkan
Tragedi Kebakaran 2 Rumah Wartawan Sumut: Berita Dinanti Kritis Dihabisi