Catatan Eka Putra
Menjaga Independensi Wartawan, Tidak Mudah Juga Tidak Sulit
DALAM sebuah diskusi kelas jurnalistik, seorang mahasiswa yang menggeluti pers kampus mengajukan pertanyaan penting tentang independensi wartawan yang jarang ditanyakan. Mungkin karena pertanyaan itu klise -- selalu dijawab normatif tetapi kenyataannya sulit dilakukan, atau bisa jadi pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Begini pertanyaan wartawan kampus tersebut: Bagaimana seorang wartawan dapat independen kalau wartawan adalah karyawan sebuah perusahaan pers? Sedangkan kami pers kampus saja takluk sama Bapak sebagai dosen pembimbing.
Blass! Seperti pedang membelah semangka yang bergerak cepat dengan sekali ayun. Para mahasiswa lain sempat bergemuruh kecil dan kembali tenang. Semua tak sabar menunggu jawaban saya yang juga ikut terkejut. Asik juga pertanyaannya.
Saya memperbaiki posisi kacamata dan memandang tajam kepada penanya, kemudian segera mengalihkan ke para mahasiswa yang lain.
"Aturan ketenagakerjaan dan sikap independensi seorang wartawan adalah dua hal yang berbeda. Seperti seorang dokter yang menjadi pegawai rumah sakit, dimana dia harus patuh terhadap peraturan perusahaan. Tetapi pada saat yang sama dokter tersebut terikat sumpah dan juga harus taat terhadap kode etik profesi. Dokter dan rumah sakit memiliki hubungan kerja saling membutuhkan. Dokter bekerja menghasilkan uang dan keuntungan bagi rumah sakit. Tetapi dalam menjalankan tindakannya, dia tidak dapat diintervensi oleh rumah sakit untuk memaksa pasien misalnya, agar selalu melakukan tindakan operasi. Dokter tidak akan mau sampai melebih-lebihkan keadaan penyakit bahkan berbohong demi kepentingan bisnis rumah sakit. Dalam hal ini seorang dokter merdeka atas profesiolitasnya dan bertindak sesuai kaedah kedokteran dan etika profesi," kata saya menjelaskan.
Begitu juga dengan wartawan. Sebagai karyawan dia harus mengikuti peraturan-peraturan perusahaan yang ada. Tetapi ketika dia menulis berita dan melaporkan fakta, dia tidak boleh memanipulasi data atas kehendak perusahaan. Apapun faktanya, wartawan selalu jujur kepada pembacanya. Semua wartawan tahu betul bahwa pada bagian lingkup kerja dia berada pada aturan perusahaan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tetapi pada tindakan profesionalitas wartawan bertanggung jawab kepada publik dan takluk kepada Undang-Undang Pers.
"Masih belum jelas Pak!" Tiba-tiba penanya tadi menyela.
"Bagian mananya?" tanya saya.
"Pada tanggung jawab kepada publik dan takluk kepada Undang-Undang Pers, Pak," jawabnya.
"Kalian tahu apa definisi wartawan? Wartawan adalah seseorang yang yang melakukan pekerjaan kewartawanan dan tugas-tugas jurnalistik secara teratur, dan karya jurnalistik itu dimuat oleh media massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan media online. Wartawan meliput kejadian dan menuliskannya menjadi berita, mengambil gambar kemudian ditayangkan di televisi, atau mengambil suara untuk diperdengarkan di radio, dan seterusnya.
Kalian tahu apa definisi pers? Pers adalah badan usaha yang membuat penerbitan media secara berkala. Dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data dan grafik dengan menggunakan media massa cetak, elektronik dan segala jenis saluran lainnya. Cukup panjang memang defenisinya. Namun intinya pers adalah media massa tempat karya-karya wartawan disebarluaskan kepada publik. Perusahaan Pers harus berbadan hukum atau berbentuk badan hukum (Pasal 9 ayat 2 UU Pers).
Pada definisi perusahaan, maka perusahaan pers memiliki kegiatan ekonomi untuk mencari dan memperoleh laba atau keuntungan. Sebagaimana yang dimaktub dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dinyatakan: (1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi," jelas saya panjang lebar.
"Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat lima fungsi pers sebagai media massa yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan lembaga ekonomi. Nah terhadap fungsi lembaga ekonomi inilah peran perusahaan pers tersebut dijalankan. Fungsi pers sebagai lembaga ekonomi berarti pers atau media massa selain melaksanakan keempat fungsi di atas, dibolehkan mengambil keuntungan ekonomi juga sebagai bisnis. Misalnya dengan menyiarkan iklan dan mendapatkan bayaran atas iklan tersebut.
Dan selanjutnya, kalian tahu apa tanggung jawab publik? Bertanggungjawab kepada publik adalah tanggung jawab moral wartawan kepada masyarakat luas atas semua berita dan tayangan yang disiarkan. Indonesia adalah penganut pers bebas dan bertanggungjawab. Konsep pers bebas dan bertanggungjawab sebenarnya merupakan bentuk penerapan dari sistem pers tanggungjawab sosial. Dalam pers tanggungjawab sosial memandang bahwa kebebasan pers perlu dibatasi atas dasar moral dan etika. Pers Indonesia memiliki UU yang mengaturnya yakni UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan sejumlah peraturan terkait profesionalitas wartawan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers sebagai lembaga tertinggi yang mengatur tatanan kehidupan pers Indonesia.
Setiap karya jurnalistik yang dihasilkan mestilah mengacu kepada empat fungsi pers (informasi, edukasi, hiburan, dan kontrol sosial) dengan mengedepankan kepentingan publik. Semakin tinggi kepentingan publik yang dijaga oleh pers, maka semakin baiklah pers tersebut. Misalnya, pers akan memberitakan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan masyarakat, nasib warga yang tertindas oleh kebijakan pemerintah. Baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, kebudayaan, olahraga, pendidikan, hukum dan kriminal. Wartawan yang memahami tanggungjawabnya kepada publik tahu betul mana berita yang layak terbit dan mana "berita sampah".
Kalian tahu apa itu UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menjadi matahari pers Indonesia saat ini? UU Pers ini lahir di masa peralihan Orde Baru menuju Orde Reformasi pada tahun 1998 dan 1999. UU Pers dikeluarkan dengan semangat perubahan Orde Baru yang mengekang menuju masa demokratis yang mendukung kebebasan pers. Kebebasan yang dimaksud adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan kesejahteraan umum dan kecerdasan masyarakat. UU Nomor 40 Tahun 1999 ini ini menggantikan UU Pers sebelumnya yang tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. UU ini mendukung kemerdekaan berpendapat dan hak atas informasi, sekaligus memberikan jaminan dan perlindungan hukum agar pers bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.
Nah coba baca kalimat terakhir, saya ulangi: agar pers bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun. Artinya apa? Artinya wartawan independen dalam menjalankan tugasnya dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun, termasuk oleh pemilik media. Wartawan, dalam hal ini redaksi, memiliki kebebasan untuk menentukan isi berita karena mereka adalah orang-orang yang bekerja secara profesional dan dilindungi Undang-Undang. Pemilik media atau manajemen perusahaan hanya dapat memberikan saran atau saling bertukar pikiran jika terdapat hal-hal yang memiliki perbedaan pandangan. Hanya memberikan pandangan, bukan paksaan. Ini sejalan dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 5 Tahun 2008 yang menegaskan "Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku". Landasannya sekali lagi, "demi kepentingan publik". Walaupun sebagai pemilik media atau manajemen perusahaan bukan berarti dia dapat melakukan tindakan yang bertengan dengan kaedah jurnalistik dan profesionalitas pers," tutur saya menjelaskan.
Suasana hening.
"Bagaimana sekarang, apakah kalian sudah paham bagaimana seorang wartawan harus independen meskipun dia seorang karyawan perusahaan pers?" tanya saya lagi kepada seluruh anggota kelas yang hadir.
Semuanya menjawab, "Sudah paham, Paakk.." meskipun tidak serempak. Saya tersenyum puas melihat wajah-wajah yang tadinya mengkerut penasaran sekarang terlihat gembira.
"Ayoo, masih ada yang belum paham? Semua sudah paham kann??" tanya saya kembali mengulang.
"Sudaaahh paaakk.." Kali ini jawabannya sudah lumayan serempak.
Tiba-tiba ada seseorang yang angkat bicara. Kali ini mahasiswa yang lain.
"Sebentar Pak, ijin.. Tadi Bapak sudah menjelaskan banyak definisi. Tapi belum tentang definisi Kode Etik Jurnalistik yang Bapak sebut sebagai acuan moral setiap wartawan. Boleh disampaikan Pak, apa saja itu," tanya mahasiswa tersebut.
"Hmm.. pertanyaan itu kalau dijawab bisa panjang. Tapi tidak apa, saya jawab saja," jawab saya.
Kode Etik Jurnalistik atau yang disingkat KEJ adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada Kode Etik Jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi. KEJ yang lahir pada 14 Maret 2006 oleh gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan Dewan Pers Nomor 3 tanggal 24 Maret 2006. KEJ mengandung empat asas yakni asas demokratis, asas profesionalitas, asas moralitas dan asas supremasi hukum.
Apa saja yang termasuk dalam moralitas KEJ? Kandungan moralitasnya adalah: 1) Wartawan tidak boleh beritikad buruk; 2) Wartawan tidak boleh membuat berita cabul dan sadis; 3) Wartawan tidak menyebutkan identitas korban kesusilaan; 4) Wartawan tidak menyebut identitas anak-anak baik sebagai pelaku, korban dan saksi atas kejahatan; 5) Wartawan tidak berprasangka dan diskrimitatif terhadap perbedaan jenis kelamin, bahasa, suku, agama; 6) Wartawan tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin dan sakit jasmani atau sakit rohani; 7) Wartawan tidak menerima suap; 8) Wartawan menghormati kehidupan pribadi, kecuali untuk kepentingan umum; 9) Wartawan melaksanakan kewajiban koreksi, yakni mencabut atau meralat atas berita yang keliru atau tidak benar, dan kemudian menyampaikan permohonan maaf jika diperlukan.
Wartawan bukan saja harus menyadari bahwa profesinya memiliki landasan yang kuat tetapi juga ada dalam menjalankan tugasnya moralitas sudah harus mendarah daging dalam dirinya.
Apa saja yang termasuk dalam profesionalitas KEJ? Asas profesionalitas adalah nilai-nilai profesionalitas yang terdapat dalam konsep kerja seorang wartawan. Yakni: 1) Wartawan harus membuat berita yang akurat; 2) Wartawan selalu menunjukkan identitas kepada narasumber; 3) Wartawan menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; 4) Wartawan selalu menguji informasi; 5) Wartawan dapat membedakan mana fakta dan mana opini; 6) Wartawan tidak membuat berita bohong dan fitnah; 6) Wartawan mencantumkan waktu peristiwa dalam pengambilan gambar; 7) Wartawan menghargai ketentuan embargo, off the record, background information; 8) Wartawan harus menjelaskan reka ulang.
Profesi wartawan memang profesi yang bebas dan terbuka bagi siapa saja. Tetapi dalam menjalankan tugasnya seorang wartawan harus memiliki tingkat kemampuan yang tinggi di bidang kewartawanan dan mampu bertindak profesional. Dengan kata lain, hanya orang memiliki kemampuan yang tinggi dibidang kewartawanan saja yang dapat dikategorikan sebagai wartawan yang baik dan benar.
Selanjutnya apa yang dimaksud dengan asas demokrasi dalam KEJ? Apapun latar belakang dan golongan wartawan, dalam menjalankan profesinya dia dituntuk bertindak adil, fair dan berimbang. Walaupun mungkin wartawan memiliki pandangan berbeda, tetapi dia tetap harus bertindak adil, fair dan berimbang dalam menulis dan menyiarkan beritanya. Hal itu harus diupayakan semaksimal mungkin. Berikan masyarakat informasi dari berbagai sudut pandang. Wartawan harus bersikap demokratis demi keragaman informasi yang diperoleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat menilainya secara bebas.
Terus, bagaimana dengan asas supremasi hukum dalam KEJ? Yang dimaksud dengan asas hukum dalam KEJ adalah nilai-nilai hukum yang diadopsi dan didukung oleh KEJ, antara lain: 1) Wartawan tidak boleh melakukan plagiat; 2) Wartawan menghormati asas praduga tak bersalah; 3) Wartawan memiliki hak tolak; 4) Wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesinya.
"Demikian penjelasan saya atas pertanyaan yang tadi? Bagaimana sekarang sudah semakin paham?" tanya saya mengakhiri penjelasan.
"Pahaammm Paakkk...!!" Semua menjawab serempak.
"Bagaimana, sekarang untuk menjadi wartawan itu mudah atau sulit?" tanya saya lagi.
Dan seperti yang saya duga, kali ini jawabannya beragam. Semua disampaikan pada waktu yang sama. Tidak serempak. Terdengar riuh. Banyak yang menjawab mudah, tidak sedikit yang menjawab sulit.
Ya memang menjaga independensi wartawan itu tidak mudah, tapi juga tidak sulit ***
H Eka Putra ST MSc, adalah seorang wartawan sekaligus penguji kompetensi wartawan (PWI), dan dosen komunikasi di Universitas Muhammadiyah Riau.
Berita Lainnya
Menakar Partisipasi Pemilih
Menjelang 2025, Bagaimana Keberlanjutan Industri Kerajinan Kecil di Malaysia?
Kebohongan Demi Kebohongan
Mahasiswa, Kegiatan di Kampus dan Menjemput Masa Depan
Peran Teknologi AI Membantu Pembangunan Kota Pintar
Charta Politika: Kenaikan Elektabilitas Doktor Ikhsan dan Kharisman Risanda Mencengangkan
Menakar Partisipasi Pemilih
Menjelang 2025, Bagaimana Keberlanjutan Industri Kerajinan Kecil di Malaysia?
Kebohongan Demi Kebohongan
Mahasiswa, Kegiatan di Kampus dan Menjemput Masa Depan
Peran Teknologi AI Membantu Pembangunan Kota Pintar
Charta Politika: Kenaikan Elektabilitas Doktor Ikhsan dan Kharisman Risanda Mencengangkan