Catatan: Winbaktianur
Tangisan Anak Cucu Mandeh Ranah Minang
SENGAJA judul ini saya pilih untuk tulisan singkat ini. Karena tiga hari ini entah kenapa saya merasa dijewer membaca berita di beberapa media massa dan cuplikan media sosial. Judul-judul bombastis membuat rasa penasaran pembaca. Sebut saja misalnya "Main Remi, Lima Emak-emak Diamankan Tim Klewang Polresta Padang" atau "VIRAL! Emak-emak di Kota Padang Diduga Berjudi", "Ditangkap Polisi, Netizen Bilang Begini".
Saya pun tergelitik untuk menyimaknya. Intinya adalah, pada hari Jumat (03/05/2023) jajaran Satreskrim Polresta Padang menggerebek rumah di Rawang Ketaping, Pasa Ambacang Kecamatan Kuranji Kota Padang. Lima emak-emak berusia rata-rata di atas 60 tahun diamankan Ketika sedang asik bemain kartu remi dengan barang bukti sejumlah uang dalam jumlah ratusan ribu rupiah.
Perjudian dapat dipahami sebagai tindakan memasang taruhan pada suatu permainan atau kejadian tertentu dengan harapan memperoleh hasil atau keuntungan yang besar. Beragam alasan mengapa perjudian merupakan perbuatan yang dilarang di Indonesia. Secara psikologi, aktivitas ini dapat menimbulkan kecanduan karena hampir sama berbahayanya dengan candu miras dan narkoba. Orang yang ketagihan berjudi dapat menghalalkan segala cara agar bisa terus-terusan berjudi.
Secara ekonomi dapat menimbulkan masalah besar. Ini karena perjudian dapat menjadi ‘oase di gurun pasir’ bagi orang-orang yang ingin mendapatkan tambahan pendapatan dengan mudah dan cepat. Kemenangan di awal perjudian menyebabkan orang semakin bersemangat dalam bertaruh dan rela mempertaruhkan apa saja yang pada akhirnya akan muncul masalah ekonomi.
Bahkan berjudi semakin menambah masalah sosial seperti kemiskinan, perceraian, anak terlantar, putus sekolah, dan munculnya kemalasan. Tak jarang, para penjudi melakukan tindakan kriminal mencuri bahkan merampok, korupsi, bahkan melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Sebagai salah satu penyakit sosial, berjudi perlu penanganan serius dan sistematis dengan melibatkan seluruh elemen, baik pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat secara bersama-sama.
Asas kekerabatan dalam masyarakat Minangkabau adalah matrilineal yang mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan prinsip ini, seorang anak akan meneruskan suku ibunya. Garis keturunan ini juga mempunyai arti penting dalam pewarisan, ketika anak akan mewarisi garis keturunan ibu. Warisan yang dimaksud adalah berupa warisan yang diwariskan melalui garis ibu.
Menurut pepatah Minangkabau, perempuan digambarkan sebagai berikut:
Limpapeh rumah nan gadang
Acang-acang di nagari
Muluik manih kucindan murah
Rang kampung sayang kasadonyo
Dari pepatah ini kita dapat mengetahui bahwa perempuan Minangkabau adalah mereka hiasan hidup di Rumah Gadang, dan itu berarti hidupnya akan berputar di sekitar Rumah Gadang. Fungsi perempuan pada hakikatnya adalah menjaga garis keturunan keluarga (paruik/suku) demi kejayaan suku. Jika kita ibaratkan, kedudukan perempuan Minangkabau dalam masyarakat mungkin hampir sama dengan ‘ratu lebah’ yang tugas utamanya menghasilkan madu dan anak, sedangkan pekerja dan pasukan prajurinya adalah laki-laki.
Dalam Minangkabau perempuan mengacu pada Adopun nan disabuik parampuan, tapakai taratik dengan sopan, mamakai baso jo basi, tahu diereang jo gendeang. Artinya, kepribadian perempuan akan mengikuti garis keturunan matriar yang ciri utamanya adalah mampu menjaga ketertiban dan sopan santun dalam bersosialisasi, berkata-kata, memahami kondisi, dan memahami kedudukannya. Lalu gunakan mamakai raso jo pareso, manaruah malu dengan sopan, manjauhi sumbang jo salah, muluik maih baso katuju, kato baik kucindan murah, pandai bagaua jo samo gadang. Maksudnya mempunyai kemampuan mengontrol emosi dan menahan diri, cerdas dalam bernalar dan mengendalikan emosi, mempunyai rasa malu dan menghindari berbuat salah serta tidak mempunyai sikap yang memalukan, kata-kata yang menyenangkan, tindak-tanduk penuh kebaikan dan cinta, serta pandai bergaul.
Kembali pada bagian awal tulisan ini, muncul pertanyaan. Ada apa dengan Perempuan Minangkabau? Apakah ada yang salah dengan kehidupan sosial masyarakat perkotaan? Ini menjadi tugas kita bersama. Kembali kepada fitrah sebagai Perempuan, mari Perempuan-perempuan Minang, jangan biarkan anak cucu menangisi tingkah laku mandeh-nya.
Kembalikan perempuan sebagai limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pegangan kunci, umbuan puruak aluang bunian, hiasan dalam nagari, nan gadang basa batuah, kok hiduik tampek banasa, kok mati tampek baniek, ka unduang-unduang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo.
Bagi perempuan, pemahaman yang mendalam tentang peran dan posisinya dalam adat istiadat Minangkabau tentunya akan semakin memotivasi dan menginspirasi mereka dalam menjalankan perannya sebagai perempuan Minang. Dengan satu harapan bahwa sebagai seorang perempuan Minang, mereka dapat meningkatkan keterampilannya, dengan tetap mengandalkan konsep budaya Minangkabau agar ia dapat memainkan peran limpapeh rumah nan gadang. Semoga! ***
Penulis adalah akademisi Psikologi Islam UIN Imam Bonjol, pengamat masalah sosial budaya. Email: [email protected]m
Berita Lainnya
Menakar Partisipasi Pemilih
Menjelang 2025, Bagaimana Keberlanjutan Industri Kerajinan Kecil di Malaysia?
Kebohongan Demi Kebohongan
Mahasiswa, Kegiatan di Kampus dan Menjemput Masa Depan
Peran Teknologi AI Membantu Pembangunan Kota Pintar
Charta Politika: Kenaikan Elektabilitas Doktor Ikhsan dan Kharisman Risanda Mencengangkan
Menakar Partisipasi Pemilih
Menjelang 2025, Bagaimana Keberlanjutan Industri Kerajinan Kecil di Malaysia?
Kebohongan Demi Kebohongan
Mahasiswa, Kegiatan di Kampus dan Menjemput Masa Depan
Peran Teknologi AI Membantu Pembangunan Kota Pintar
Charta Politika: Kenaikan Elektabilitas Doktor Ikhsan dan Kharisman Risanda Mencengangkan