PWI Pusat-LSPR Institute Gelar Pelatihan Pers Kampus, Mahasiswa Antusias
Zulkifli Gani Ottoh: Hendry Ch Bangun Sah Sebagai Ketua Umum PWI
Paslon HS Janjikan Gaji Honorer Lebih Manusiawi dan Bantuan Bagi Petani
Mohammad Natsir, Jabatan Mentereng yang Bergaya Hidup Bersahaja
RIAUIN.COM - Di balik jabatan menterengnya, Mohammad Natsir tetap menjalani hidup dengan kesederhanaan yang luar biasa. Meskipun pernah menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Indonesia pada 1950-1951 dan Menteri Penerangan pada 1946-1947 serta 1948-1949, gaya hidupnya tidak pernah berubah.
Natsir, yang lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat pada 1908, selalu tampil bersahaja. Bahkan ketika menjadi pejabat tinggi, rumah, pakaian, kendaraan, dan gaya hidupnya tetap sederhana. George McTurnan Kahin, Guru Besar Universitas Cornell, mengisahkan dalam buku Natsir, 70 Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan bahwa ia pernah melihat Natsir mengenakan jas bertambal. "Pakaiannya tidak mencerminkan bahwa ia seorang menteri," tulis Kahin.
Kesederhanaan Natsir juga diceritakan oleh Yusril Ihza Mahendra. Saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di masa Orde Baru, Natsir sering datang ke kantor dengan pakaian yang sama: baju putih bernoda tinta atau kemeja batik biru.
Bahkan sebagai pejabat tinggi, Natsir menolak kemewahan. Mobil pribadinya, DeSoto yang sudah kusam, tetap ia gunakan meskipun pernah ditawari Chevrolet Impala mewah dari seorang tamu. "Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup," kata Natsir, menirukan penuturan anaknya, Lies, kepada Tempo pada 2008.
Kesederhanaan Natsir juga terlihat saat ia mengundurkan diri dari jabatan PM pada 1951. Ia mengembalikan mobil dinasnya di Istana Presiden dan pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Ketika Khusni Muis, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat, meminta pinjaman uang untuk pulang ke Banjarmasin, Natsir terpaksa meminjam uang dari kas majalah Hikmah karena belum menerima gaji.
Natsir dan keluarganya juga menjalani kehidupan sederhana di tempat tinggal mereka. Awalnya, mereka tinggal di rumah Prawoto Mangkusasmito di Kampung Bali, Jakarta Pusat. Kemudian, ketika pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, mereka menumpang di paviliun Haji Agus Salim. Baru pada akhir 1946, keluarga Natsir menempati rumah di Jalan Jawa, Jakarta Pusat yang dibeli pemerintah untuk rumah dinas Menteri Penerangan. Rumah itu diisi dengan perabot bekas.
Kesederhanaan ini tetap dijaga meskipun ada fasilitas protokoler. Lies, putri Natsir, tetap bersepeda ke sekolah, dan ibu mereka, Nur Nahar, tetap berbelanja dan memasak sendiri.
Ketika Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/PRS) mengubah hidup keluarga Natsir, mereka harus beradaptasi dari 'anak Menteng' menjadi 'anak hutan' di Sumatera. Setelah Natsir dibebaskan pada 1966, keluarga mereka kehilangan rumah di Jalan Jawa dan mobil DeSoto. Mereka pun menjalani hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya bisa membeli rumah di Jalan Jawa 46, Jakarta Pusat dengan cicilan dari pinjaman teman-temannya.
Kisah hidup Mohammad Natsir, bapak bangsa yang sederhana, menjadi teladan penting di tengah glamornya gaya hidup pejabat masa kini. - rum/*
Berita Lainnya
Wak Ruzaidi: Atlet Silat “Ndekar Bartuah” Sentajo Jadi Aktor di Malaysia
Drs. H. Samad Thaha, Sosok yang Tak Pernah Lelah Berjuang Untuk Kuantan Singingi
Said Mustafa Husin, Wartawan dan Seniman dari Kuantan Singingi
Otong Lenon Komedian Nasional dari Kuantan Singingi
H Abdul Malik, Ulama dan Pedagang dari Baserah
Ibad Amin, Ketua Muhammadiyah Pertama di Kuantan Singingi
Wak Ruzaidi: Atlet Silat “Ndekar Bartuah” Sentajo Jadi Aktor di Malaysia
Drs. H. Samad Thaha, Sosok yang Tak Pernah Lelah Berjuang Untuk Kuantan Singingi
Said Mustafa Husin, Wartawan dan Seniman dari Kuantan Singingi
Otong Lenon Komedian Nasional dari Kuantan Singingi
H Abdul Malik, Ulama dan Pedagang dari Baserah
Ibad Amin, Ketua Muhammadiyah Pertama di Kuantan Singingi