Kanal

Kebebasan Pers dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

MEMBAHAS masalah pers berarti kita membahas dimensi, paradigma, dan kompleksitas persoalan pers dalam konteks yang sangat luas. Ada dimensi perdagangan, manajemen, dan jurnalisme yang selalu mencari bentuk, gaya, dan model yang sempurna. Belum lagi kompleksitas persoalan internal dan eksternal yang tak kunjung usai sejak zaman kolonial hingga era transisi menuju demokrasi saat ini, baik dalam konteks ideologi, ekonomi, bahkan politik dan agama. Kebebasan pers yang sejati belum dapat diwujudkan karena bersinggungan dengan banyak kepentingan besar, terutama kepentingan pemerintah. Kebebasan pers masih terus bergerak menuju kesempurnaannya.

Wayne Overbeck dan Genelle Belmas menulis dalam bukunya, The Major Principles of Media Law yang terbit tahun 2015 mengatakan bahwa kebebasan pers adalah buah dari perjuangan yang sangat berat dan menyakitkan. Inilah pertempuran paling melelahkan di antara berbagai jenis persoalan hukum yang dihadapi surat kabar. Masalahnya bukan hanya membuat aturan. Biasanya aturan yang ada ditolak dengan berbagai alasan. Bahkan di Amerika Serikat ada pengurangan kualitas kebebasan pers. Di Amerika ada Freedom of Information Act (FOIA) yang sudah beberapa kali diperbaharui. Namun tetap saja berbagai masalah selalu muncul, dan hal ini selalu dihadapi oleh pengelola media massa.

Kebebasan berekspresi di media dapat diartikan sebagai bebas dari intervensi otoritas yang akan mengganggu isi dan peredaran surat kabar. Tidak boleh ada campur tangan terhadap media termasuk yang mengatasnamakan kepentingan umum. Namun hal tersebut masih jauh panggang dari api. Aturan tentang kebebasan media biasanya tidak tercermin dari apa yang terjadi di lanskap media. Kadang-kadang pembatasan media ditempatkan pada dengan "alasan keamanan nasional". Di Amerika misalnya, istilah kepentingan nasional digunakan sebagai mekanisme untuk mengontrol dan mencegah kelancaran arus informasi atas nama perlindungan keamanan nasional padahal lembaga negara menjamin kebebasan media. Wartawan Amerika masih menghadapi permusuhan dari pemerintah dan aliansi lokal, yang masih meberikan ancaman hukum, baik terhadap media maupun sumber berita mereka.

World Press Freedom Index tahun 2018 tentang kebebasan pers di Amerika menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam tingkat kekerasan kepada wartawan jurnalis dan tindakan pemerintah yang mengancam kebebasan pers. Laporan World Press Freedom Day menggambarkan bahwa kebebasan pers dunia belakangan ini berada dalam masalah serius. Temuan tim penilai menunjukkan adanya kekerasan terhadap wartawan di beberapa negara. Organisasi itu menyebut sepanjang 2018 terjadi 35 serangan fisik terhadap 42 jurnalis yang terdiri dari serangan menggunakan alat peledak yang ditujukan kepada pejabat CNN. Sekitar sepertiga serangan terhadap jurnalis terjadi selama demonstrasi. Bahkan, Reporters Without Borders harus menambah kategori baru untuk tahun 2018 menyusul insiden penembakan fatal di sebuah surat kabar pada Juni 2018, yang merenggut nyawa empat wartawan dan seorang asisten pemasaran.

Organisasi Reporters Without Borders memeringkat negara-negara untuk publikasi pada Hari Kebebasan Pers Dunia 2017. Pemenang pertama kembali ke Norwegia, yang memenangkan "skor penyalahgunaan" 0 dan mempertahankan posisinya di puncak daftar selama satu tahun lagi. Negara teratas lainnya dalam urutan itu adalah Finlandia, Swedia, Belanda, Denmark, Swiss, Selandia Baru, Jamaika, Belgia, dan Kosta Rika. Mungkin tidak mengherankan bahwa sebagian besar negara teratas berada di belahan dunia yang sama. 10 terbawah dari daftar Hari Kebebasan Pers Dunia semuanya berasal dari Afrika dan Asia. Mulai dari bawah di urutan 180 yaitu: Turkmenistan, Korea Utara, Eritrea, China, Vietnam, Sudan, Syria, Djibouti, Arab Saudi dan Laos.

Mengenai kebebasan pers, Ghana misalnya, meskipun negara tersebut memiliki tiga kepala negara sipil yang diselingi dengan banyak pemerintahan militer, Ghana telah menganut kerajaan yang sepenuhnya demokratis sejak tahun 1992 dengan institusi yang memberikan kebebasan media dan berekspresi. Meskipun beberapa negara Afrika lainnya memiliki tingkat kebebasan media yang berbeda karena tergantung pada institusi masing-masing negara, apakah secara eksplisit melindungi kebebasan, hak untuk mengakses informasi. Bagi negara berkembang, masih ada paradigma lama dan baru yang menarik tiada habisnya. Kompleksitas persoalan internal dan eksternal tidak akan berhenti pada konteks ideologi, ekonomi, bahkan politik dan agama.

Di Malaysia, kebebasan pers dipengaruhi oleh penguatan etika jurnalistik berdasarkan nilai-nilai luhur yang berperan penting dalam membangun kompetensi profesional yang tinggi. Etika jurnalistik lintas budaya sangat diperlukan dalam konteks Malaysia karena secara umum jurnalisme yang bertanggung jawab sangat diperlukan setiap negara, terutama globalisasi yang melihat arus berita antar negara. Globalisasi tidak hanya melihat penetrasi saluran media ke lanskap media Malaysia, tetapi juga transmisi ideologi kebebasan pers menurut konteks Barat yang dilaporkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Situasi ini pula yang menyebabkan para jurnalis yang terpengaruh kesan tersebut mencoba menyebarkannya dalam konten media yang diproduksinya, di saat masyarakat disibukkan dengan kecanggihan perangkat telekomunikasi dan layanan saluran akses internet yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi medianya.

Malaysia adalah negara berkembang yang masyarakatnya terdiri dari masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai ras dan agama. Tekanan terbesar yang mempengaruhi kebebasan pers di Malaysia adalah merebaknya fenomena globalisasi dan hegemoni media Barat, termasuk munculnya portal berita alternatif secara tiba-tiba melalui internet di lanskap media baru Malaysia. Pembatasan kebebasan berekspresi di pers Malaysia tidak selalu karena perpecahan dan kontrol kerajaan, tetapi merupakan hasil dari pemeriksaan bebas yang dilakukan oleh masing-masing surat kabar terhadap kesadaran yang timbul dari etika jurnalistik.

Bagaimana dengan situasi pers di Indonesia? Mencermati situasi yang masih dalam masa transisi, surat kabar Indonesia kerap menggambarkan kecenderungan masyarakatnya. Kajian ini menarik bukan hanya karena kecenderungan ilmu sosial untuk tanggap terhadap fenomena baru ini, tetapi karena transisi yang dialami surat kabar Indonesia saat ini benar-benar merupakan pengalaman baru. Pengalaman baru adalah tentang awal lahirnya kebebasan pers dan profesionalisme pers.

Kebebasan pers mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia setelah UU Pers disahkan pada masa reformasi tahun 1999, dimana kewenangan pengawasan dan pemantauan kebebasan pers di Indonesia diberikan kepada Dewan Pers. Pada periode ini, berbagai media cetak dan elektronik bermunculan. Era reformasi merupakan era paparan publik di Indonesia yang mulai mengkritisi capaian-capaian pemerintah Indonesia. Keterbukaan pers di Indonesia pasca reformasi juga mengalami perubahan kondisi terkait fungsi kontrol sosial pers terhadap pemerintah.

Di era reformasi di Indonesia, kebebasan pers juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi mendukung masyarakat umum untuk menyuarakan pendapat dan menyediakan serta menyebarluaskan informasi dengan lebih cepat. Media online merupakan faktor penting dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaran informasi oleh masyarakat umum. Kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Kebebasan pers dianggap sebagai cara untuk memastikan hubungan antara kebebasan berekspresi dan demokrasi.

Negara Indonesia mengakui dan menjamin perlindungan hukum terhadap kebebasan pers. Hal ini diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi: “kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran” secara lisan dan tertulis dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Jika Pasal 28 UUD 1945 khusus berbunyi tentang kemerdekaan pers , berarti Indonesia ingin menegakkan kemerdekaan pers yang demokratis, berwatak kemanusiaan dan berwawasan sosial.

Peran pers sebagai saluran komunikasi publik sangat penting bagi pembangunan suatu negara. Tidak hanya itu, pers juga merupakan salah satu unsur terwujudnya negara demokrasi. Di Indonesia, semua orang percaya bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi di samping eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Untuk itu, semua pihak perlu memberikan ruang yang luas kepada pers dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Salah satu hal yang harus diperoleh pers adalah kebebasan pers. Kebebasan pers bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi sehingga media massa dapat menyampaikan berbagai materi, semakin memperkuat dan mendukung masyarakat untuk berperan dalam demokrasi.

Di Indonesia, Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari hak asasi manusia untuk menyatakan pikiran dan pendapat menurut hati nurani dan hak untuk menerima informasi. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa kemerdekaan berpendapat ada untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain berfungsi untuk memenuhi hak untuk mengetahui dan hak untuk menerima informasi, pers merupakan salah satu cara masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan pendapatnya serta memiliki peran penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memainkan peran penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Pakar komunikasi Indonesia Profesor Miriam Budiardjo pernah mengatakan bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab. Menurutnya, jurnalisme sejati adalah pelindung semua manusia dan disiplin teknis yang harus dipupuk dan dihayati di semua lingkaran sosial, dan dalam suka dan duka bersama.

Kebebasan pers di Indonesia khususnya bidang media cetak didukung oleh Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin kebebasan menggunakan berbagai media dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan. informasi. Prinsip kebebasan pers di Indonesia diatur secara jelas dalam beberapa Undang-Undang yang diundangkan setelah era reformasi yang dimulai pada tahun 1998. Penegakan kebebasan pers di Indonesia sesuai dengan prinsip pemerintahan yang berlaku, yaitu demokrasi. Dengan demikian, kebebasan pers di Indonesia dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya politik Indonesia.

Dalam perspektif teori normatif, media massa harus bebas dari kontrol pemerintah yang berlebihan, dan dari kelompok kepentingan tertentu untuk secara bebas memberitakan fakta sosial dan memenuhi kebutuhan khalayaknya. Karena merupakan langkah penting dalam mengajarkan kebenaran dan memberikan informasi kepada masyarakat, tidak terkecuali kemandirian.

Oleh sebab itu, kebebasan pers di Indonesia adalah kebebasan pers dalam kerangka kepentingan bersama, dan tanggung jawab tersebut tidak hanya ditentukan oleh surat kabar itu sendiri, Dewan Pers tetapi juga ikut ditentukan oleh masyarakat umum. Kebebasan pers di Indonesia bukanlah kebebasan pers seperti dalam sistem liberal tetapi memberikan sesuatu untuk kepentingan rakyat dan pemerintah serta pers itu sendiri. Wartawan independen melaporkan peristiwa dan mengkritik pemerintah. Tidak ada lagi kendala selain pemerintah karena UU Pers No. 40 Tahun 1999 memberikan dukungan terhadap kebebasan ini. Tentu saja, dalam menulis berita, ia harus mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Karena tidak ada lagi kendala untuk publikasi media, maka jumlah media dan wartawan di Indonesia akan terus berkembang pesat.***

  • Eka Putra ST MSc adalah Dosen tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau yang juga seorang wartawan. Saat ini penulis berdomisili di Pekanbaru.

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler