Kanal

Menakar Restu Presiden

Jabatan Presiden dalam sistem presidensiil adalah jabatan yang amat berat, karena jabatan tersebut diemban oleh satu orang dan dibantu satu orang lainnya yang bertindak sebagai wakil presiden (baca pasal 4 ayat (2) UUD 1945),  secara teori dua orang ini "Two In One", namun dalam praktik tak jarang juga kedua orang ini berbeda pandangan dan sikap dalam pengambilan kebijakan, dan sangat dominannya Presiden sebagai pihak "pemutus" kebijakan (pahami pasal 4 ayat (1) UUD 1945).

Kenapa dikatakan berat, karena Presiden selain sebagai kepala negara merupakan kepala pemerintahan. Walaupun dalam UUD 1945 tidak mengelompokkan mana tugas presiden sebagai kepala negara, dan mana tugas presiden sebagai kepala pemerintahan. Pengaturan itu terserak dalam UUD 1945, Namun hal itu telah dapat kita temukan secara umum ternyatakan dalam pasal 4  hingga Pasal 17 UUD 1945 serta pasal lainnya.

Berangkat dari UUD 1945 sebagai Staatsgroudgezets tersebut maka untuk menduduki jabatan ini memang sejatinya tidaklah sebarangan orang, karena hakekatnya tidak semua orang juga dapat menjadi pemimpin negara. Apatah Presiden sebagai tampuk kekuasaan atas segala kekuasaan dalam dimensi Trias politika (pahami kewenangan presiden sebagai kepala negara, memerankan 3 cabang kekuasaan).

Seseorang yang menjadi presiden tentu harus mampu menjadi bapak/ibunya bangsa. Kebijaksanaan, mental yang kuat, integritas yang  baik, pengetahuan ketatanegaraan dan hukum menjadi modal besar baginya dalam mengarungi segala cobaan yang akan hadir, baik cobaan yang dapat dipastikan maupun yang tidak bisa dipastikan.

Ia harus mampu memetakan persoalan yang ada, mencari solusi cepat dan terbaik untuk mengatasinya, serta memiliki tim (kabinet) yang sangat loyal kepadanya dalam rangka mengatasi segala persoalan tersebut.

Dengan beban yang berat dan telah ditempatkan sebagai bapak/ibunya bangsa, dan melalui konstitusi diberi kewenangan yang besar tadi maka tentu segala " lirikan, perkataannya" sangat penting dan didengar.

Hal itulah yang menyebabkan beberapa pihak mengejar "restu" sang presiden. Apakah dalam rangka maju sebagai capres dan cawapres dalam Pemilu 2024, atau dalam hal lainnya.

Restu dalam bentuk persetujuan yang diberikan Presiden bagi seseorang yang membutuhkan untuk melangkah, tentu restu itu  bagi seseorang itu akan menjadi "spirit" dalam mencapai apa yang ia inginkan.

Namun tentu dibalik itu semua Sang Presiden pun harus berhati- dalam memberi restu dan tidak memberi restu, dengan pengaruh yang besar tersebut. Jangan sampai ia (Presiden) ingin atau dikultuskan oleh pihak yang meminta restu.

Karena penghormatan manusia pada manusia lainnya harus sesuai dengan porsinya dan tentu itu berladaskan pada batasan-batasan  dalam dimensi peraturan perundangan sebagai  hukum positif dan hukum tidak tertulis lainnya.

Sehingga dalam konteks pemilu 2024 ini jangan kita terjebak dalam "restu atau tidak direstui Presiden", secara tersirat jelas sebagaimana amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada, Presiden harus memposisikan diri secara netral, berkeadilan dan penuh kebijaksanaan.

Dalam dimensi hukum positif restu presiden tidak diatur dan tidak perlu didapatkan terutama dalam hal kepemiluan.

Dalam konteks kebijaksanaan,  sebagai bapak/ibu bangsa tentu restu itu harus diberikan oleh Presiden pada semua pihak dalam rangka menuju Indonesia yang lebih baik dengan rasa persaudaraan sebangsa dan setanah air yang kuat.

Ditulis oleh: Zulwisman SH MH (Dosen Hukum Tata Negara  UNRI)

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler