Kanal

Off The Record, Wartawan Mematikan Rekaman Bukan Mematikan Langkah

PADA sebuah uji kompetensi wartawan (UKW), pertanyaan ini wajib dijawab peserta uji: "Apa yang dimaksud dengan off the record?" Bisa dipastikan hampir 100 persen semuanya menjawab benar. Sebab off the record adalah keseharian yang dilakoni para wartawan. Jika ada yang menjawab salah, maka dia termasuk wartawan "belum jadi" yang nekat ikut UKW.

"Off the record adalah informasi yang diberikan narasumber tetapi tidak boleh kita publikasikan," begitu jawaban lisan ataupun tulisan mereka. Yap benar, saya kasih tanda centang.

Namun begitu dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, situasi jadi berbeda. 

"Kenapa off the record mesti ada? Trus, apa manfaatnya off the record bagi wartawan?"

Baru banyak yang gelagapan. Mulai menjawab sekenanya, walaupun ada benarnya. Bagi wartawan yang punya jam terbang tinggi biasanya bisa menjawab yang lumayan mengena.

"Off the record ada karena untuk melindungi narasumber dari isi curhatnya," jawab seorang wartawan terbilang senior. Boleh juga sih.

"Off the record itu hak narasumber yang dilindungi Undang-Undang, makanya off the record itu ada," jawab wartawan lain. Hmm.. seharusnya bukan dilindungi Undang-Undang melainkan Kode Etik Jurnalistik. Undang-undang menyuruh wartawan patuhi kode etik. Mesti agak ngasal tapi bolehlah.

"Off the record tak mesti ada, kecuali narasumber yang minta!" Nah dengan jawaban ini saya cuma tersenyum. Mau marah, tapi kok ada benarnya juga. Hehe.

Begini. Off the record adalah istilah jurnalistik yang berarti segala informasi atau data dari narasumber tidak boleh dipublikasikan, dimuat atau disiarkan. Hal tersebut diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan KEJ wajib ditaati oleh setiap wartawan sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, tepatnya pada Pasal 7. Artinya, informasi yang disampaikan narasumber hanya sekadar untuk diketahui saja. 

Dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 7 menyebutkan, "Wartawan Indonesia memilki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan". Memuat ucapan atau data yang diberikan narasumber yang meminta off the record adalah dilarang.

Meskipun demikian, tidak semua hal bisa disepakati sebagai off the record. Ia bisa berlaku dengan memenuhi syarat-syarat berikut: Pertama, informasi off the record bersifat fakta, bukan berupa opini. Pada poin ini wartawan tidak boleh menyiarkan fakta yang sedang disampaikan narasumber. Cukup diketahui, tidak dipublikasikan. 

Kedua, fakta off the record bukan suatu informasi yang sudah menjadi pengetahuan umum, tidak tergolong rahasia lagi. Jika fakta tersebut telah diketahui orang banyak, maka perbincangan akan beralih menjadi wawancara interpretatif atau menggali opini narasumber. Dalam hal ini, off the record terhadap opini tidak tepat. Wartawan bisa menegosiasikan agar opini itu dapat dimuat. Kalau dia tetap tidak setuju, ya kita dengar saja penjelasan. Atau, minta izin menghentikan wawancara.

Oleh sebab itu syarat ketiga ini menjadi penting, yakni pernyataan permintaan off the record oleh narasumber dinyatakan secara jelas, baik di awal pembicaraan atau di ujung pembicaraan. Hal ini perlu ditegaskan kembali oleh wartawan agar tidak ada kesalahpahaman.

Bagaimana jika wartawan menyiarkan berita yang dinyatakan off the record oleh narasumber? Jawabannya jelas dan tegas: wartawan beserta medianya melakukan pelanggaran dan menanggung seluruh beban hukum dan etika yang ada. Sementara narasumber dibebaskan dari segala tuntutan dan kewajiban hukum dan etika.

Alasannya begini. Pada dasarnya off the record sama dengan informasi yang tidak pernah ada. Narasumber yang menyampaikan informasi juga dianggap tidak ada. Lalu, jika kemudian pers menyiarkan off the record berarti seluruh isi berita harus dianggap tidak ada. Pers yang menyiarkan berita off the record dikategorikan menyiarkan berita bohong, bahkan fitnah.

Namun komunikasi antara wartawan dengan narasumber tidak selalu kaku. Pada Pasal 7 KEJ dinyatakan bahwa off the record sesuai dengan kesepakatan. Ini peluang. Lakukan negosiasi kepada nasumber agar off the record-nya bisa dicabut. Tentu saja dengan mengedepankan argumentasi yang membuat dia merasa penting, nyaman dan aman. Biasanya kalau dikomunikasikan dengan baik narasumber akan kembali on the record (boleh disiarkan). Terkadang cara berkomunikasi dengan narasumber saat wawancara ikut menentukan kualitas data yang didapat.

Kembali kepada suasana uji kompetensi wartawan yang sedang membahas off the record. Dari banyak ujian yang saya jalani, hanya sedikit wartawan yang tahu tentang rambu-rambu wawancara. Kalau tidak off the record (tidak boleh direkam yang dicegah siar), ya on the record (boleh direkam dan boleh disiarkan). Padahal dalam aturan jurnalistik juga dikenal istilah-istilah lain. 

Seperti "on the background". Apa itu, yakni semua pernyataan narasumber boleh dikutip, tetapi tanpa menyebutkan nama atau gelar tertentu narasumbernya. Dalam menyebutkan sumber berita wartawan diharuskan untuk memilih dan menggunakan kata ganti melalui kesepakatan bersama narasumber. Misalnya dengan "orang dalam kementerian A". Kondisi ini dilakukan agar pemberi informasi tidak merasa disudutkan jika sewaktu-waktu dilakukan penelusuran terkait informasi yang diberikan sumber berita pada pemberitaan yang berkemungkinan dapat mengancam posisinya.

Kemudian ada "on deep background", yang berarti seluruh keterangan sumber berita diizinkan untuk digunakan dalam pemberitaan, tetapi tidak dalam kutipan langsung dan sama sekali tidak diperbolehkan untuk menyebutkan identitas sumber berita atau istilah lain. Konsep ini jarang digunakan wartawan, sebab narasumber sering kali memanfaatkannya untuk mengapungkan umpan tanpa harus mempertanggungjawabkannya. 

"Trus, apa manfaatnya off the record bagi wartawan?" Saya mengajukan pertanyaan kepada peserta uji.

Fungsi off the record bagi wartawan ada dua. Pertama sebagai informasi tambahan yang hanya untuk diketahui saja, dan kedua sebagai informasi awal bagi wartawan yang dapat ditelusuri lagi.

Untuk yang pertama sudah jelas. 

Sekarang untuk manfaat kedua, sebagai informasi awal. Sejujurnya hal ini masih debatable, belum satu pemahaman di kalangan wartawan. Bagi yang setuju sebagai informasi awal bertolak pada konsep kesepakatan narasumber bersama wartawan tentang informasi off the record. Perjanjian itu terikat hanya pada wartawan dan narasumber terkait. Tetapi bila informasi ini dialihkan kepada narasumber lain yang bersedia menjawab on the record, maka keterikatan kita dengan narasumber pertama tidak ada lagi. Yang bertanggung jawab atas informasi rahasia tersebut beralih kepada narasumber kedua, karena dia sudah bersedia on the record.

Sedangkan bagi yang tidak setuju bahwa off the record dialihkan kepada narasumber lain bertolak pada konsep kosong off the record tersebut. Nihil berita, nihil narasumber. Termasuk semua informasi yang disampaikan juga dikategorikan nihil. Informasi yang diberikan secara off the record diberikan kepada wartawan dan tidak boleh direkam atau disebarluaskan dengan cara apapun. Informasi itu juga tidak boleh dialihkan kepada narasumber lain.
 
Pada kasus ini saya lebih condong kepada pemahaman pertama, yang boleh dialihkan kepada narasumber lain. Alasannya, off the record bagi narasumber biasanya karena beberapa hal ini: ada kepentingan pribadinya yang bakal terancam, dipakai untuk melindungi pihak lain, atau karena merasa dirinya tidak kompeten memberikan keterangan. Dengan bertanya kepada narasumber lain --yang tidak merasa terancam, tidak ada orang lain yang sedang dilindungi, dan cukup kompeten untuk menjawab wartawan-- maka selesailah masalahnya. Off the record memang mematikan rekaman, tetapi tidak mematikan langkah.

Pembicaraan saya dengan peserta uji kemudian merembet lebih dalam lagi. Semua wartawan harus mematuhi off the record. Tapi bagaimana kalau ada wartawan lain yang mendengar isi wawancara, sedangkan dia tidak terikat dalam kesepakatan. Apakah dia juga harus mematuhi off the record?

"Bisa jadi sang narasumber tidak tahu bahwa ada seseorang yang juga wartawan di sekitar mereka Pak. Bagaimana dengan kondisi ini Pak, wartawan yang curi dengar itu boleh bikin beritanya gak? Kan dia tidak terikat kesepakatan," tanya seorang peserta uji mencoba menelisik saya.

Atas pertanyaan peserta uji ini, saya terdiam. Saya tatap dia dalam-dalam. Ini bertanya, atau sedang menguji balik.

"O begitu. Kalau menurut kamu sendiri, bagaimana?" sahut saya, agak kesal. Hemmmh. ***

H Eka Putra ST MSc, adalah seorang wartawan sekaligus penguji kompetensi wartawan (PWI), dan dosen komunikasi di Universitas Muhammadiyah Riau.

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler