Kanal

Survei dan Kebobrokan Demokrasi

Oleh : Zulwisman SH MH

KETIKA model pengisian jabatan kenegaraan (chief eksekutif) dilakukan secara langsung, terutama di Indonesia( Pilpres sejak 2004 dan Pilkada sejak 2005 ) selalu menghadirkan berbagai lembaga survei.

Kemunculannya bak cendawan tumbuh setelah hujan, tidak ditolak keberadaannya dan enggan hilang dalam pesta demokrasi kekinian , dan kinipun menjadi satu sudut pandang dan ukuran dalam peta dan memetakan suara.

Keberadaan lembaga survei ini terkesan sudah menjadi satu kesatuan dalam demokrasi kekinian, masif menyampaikan hasil dengan metode yang mereka gunakan.


Penilaian tersimpul dibenak kita dan  tentu itu berbeda2  dalam memandang keberadaan lembaga survei ini baik dari sisi keindependenannya, sumber pembiayaan , metodologinya, siapa yang disurvei, hingga perbedaan pandangan terhadap hasil yang disampaikan.

Namun tentu kita harus berkontemplasi kembali, dengan pertanyaan, apakah keberadaan lembaga ini semakin menguatkan demokrasi atau malah sebaliknya, menjadi satu sisi kebobrokan demokrasi itu sendiri ?.

Karena tak jarang kita disajikan dan terperangah, tidak hanya di Indonesia, diberbagai belahan negara lainnya calon terpilih malah adalah sosok atau pasangan calon yang tidak diunggulkan dalam hasil  survei.
Di turki misalnya, erdogan kalah dalam hasil survei tapi menang dalam pemilihan Presiden Turki.

Di Indonesia, 2014 lalu menyatakan Prabowo Hatta oleh 16 Lembaga survei dinyatakan unggul, namun keok oleh Jokowi- JK  dalam Pemilihan.

Begitupula di tahun 2019,  Masih banyak yang menyatakan Prabowo - Sandi unggul. Namun kembali keok dalam pemilihan atas pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin.

Begitu pula ketika Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017 yang lalu. Anies-Sandi tidak diunggulkan dalam survei namun malah keluar sebagai the winner.

Kini 14 Februari 2024 tak lama lagi, namun saban hari kita disajikan hasil survei, fikiran dan keyakinan kita tentang siapa yang terpilih dibentuk dan terbentuk dalam fikiran masing-masing.

Cara kita berdemokrasi dan keberadaan lembaga survei dalam hiruk pikuk demokrasi ini perlu penataan kembali. Sehingga jangan sampai kita jatuh pada lubang kebobrokan demokrasi.

Lembaga survei tidak bisa berjalan dan bekerja tanpa bayang, keterbukaan tentang independensi, pendanaan dan siapa yang disurvei harus berlandas pada asas transparansi, asas akuntabilitas dan partisipatif.

Makanya wajar dahulu filsuf tersohor Yunani kuno, yakni Aristoteles menyatakan, demokrasi adalah bentuk yang paling buruk dan ia secara nyata memandang rendah demokrasi sebagai sistem politik.

Mari rawat dan tata demokrasi kita dalam selimut Pancasila, dan semoga hiruk pikuk dalam pesta demokrasi 2024 ini terus menjadi modal kita dalam menuju demokrasi yang kita inginkan.

Wallahualam bissawab..

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler