Kanal

Sidang Pengurus Koperasi vs PT TFDI di PN Siak, Saksi Ahli: Perjanjian Ranahnya Perdata

RIAUIN.COM - Sidang lanjutan kasus dugaan penipuan dengan terdakwa Anji Mardiator selaku Ketua Koperasi Produsen Satu Hati Penyengat dan terdakwa 2 atas nama Sarli berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Siak Sri Indrapura, Selasa, (2/1/2024).

Sidang Perkara Pidana Nomor 392/Pid.B/2023/PN Siak ini digelar di Ruang Cakra dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dan saksi fakta yang dihadirkan oleh kuasa hukum terdakwa.

Dalam keterangannya, saksi ahli yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau (Unri), Erdiansyah SH MH menerangkan, kasus ini berawal dari kesepakatan antara kedua belah pihak, dalam hal ini Koperasi Produsen Satu Hati Penyengat yang berkedudukan di Desa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau dengan PT Triomas Forest Development Indonesia (TFDI) yang dituangkan dalam sebuah perjanjian.

Dijelaskan Erdiansyah, dalam sebuah perjanjian ada poin-poin yang disepakati dan dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak melanggar isi perjanjian, hal itu bisa dikategorikan sebagai wanprestasi.

"Apabila dari salah satu pihak ini tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, maka ini masuk ke ranah keperdataan. Artinya murni keperdataan, karena ini didasari oleh sebuah alas perjanjian yang artinya masing-masing pihak ini menyepakati apa yang diperjanjikan. Tetapi di kemudian hari, salah satu pihak ini tidak melaksanakan kesepakatan, artinya disini tidak ada niat jahat dari si pelaku ini melakukan tindak pidana sebagaimana yang disangkakan pasal 372 KUHP," ucap Erdiansyah, seusai menghadiri persidangan.

Erdiansyah menilai perkara ini adalah soal kesepakatan antara masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan maka langsung masuk ke perkara perdata karena ada wanprestasi dalam kasus ini.

Diterangkan Erdiansyah, soal adanya niat jahat (mens rea) yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan, Erdiansyah menyebut bahwa hal itu seharusnya dilakukan dari awal. 

"Padahal yang menjadi terlapor (terdakwa) sekarang ini tidak memiliki niat jahat, surat-suratnya sudah diberikan semua. Bahkan perusahaan tidak melaksanakan apa yang sudah diperjanjikan tersebut, dimana niat jahatnya? Kecuali, mereka punya niat jahat dari awal mereka tidak ada kesepakatan. Perjanjian itu karena ada kesepakatan kedua belah pihak, dari mana ada niat jahat? Jadi saya menilai tidak ada niat jahat dari terlapor sekarang ini," kata dia.

Sekali lagi Erdiansyah menegaskan, karena perkara ini berawal dari hubungan privat antara dua pihak yang diwujudkan dengan alas perjanjian, tentu harus diselesaikan secara keperdataan. 

"Maka saya lihat dalam perkara ini, tidak boleh langsung ke pidana. Kenapa? Karena ini berawal dari kesepakatan masing-masing pihak. Tentu di kesepakatan secara formilnya, dimana ada kesalahan dalam hal ini yang artinya pihak yang sekarang menjadi terlapor (terdakwa) tentu mungkin pihak yang kedua tidak melaksanakan prestasinya. Maka didudukkan dulu secara formil ke perdataannya. Jadi saya menilai perkara ini tidak masuk ranah pidana, tetapi masuk ranah keperdataan," pungkasnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum terdakwa, Mardun SH dan Rekan menjelaskan, terjadinya perjanjian ini berawal pada tahun 2019 lalu. Saat itu kedua belah pihak saling lapor. Perusahaan melaporkan adanya pengrusakan, sementara masyarakat melaporkan perusahaan karena menanam pohon kelapa sawit di lahan warga.

Singkat cerita, kedua belah pihak kemudian membuat kesepakatan yang isinya sepertiga hasil panen pohon akasia milik masyarakat, diserahkan kepada perusahaan. Sementara untuk biaya panen dan operasional lainnya ditanggung pihak koperasi. Dalam perjanjian itu juga disepakati bahwa perusahaan wajib memberikan uang sebesar Rp1,6 miliar dan menyediakan lahan 783 hektare yang akan dijadikan KPA. 

"Tetapi lahan yang 783 hektare itu adalah milik orang lain. Artinya, tidak ada satu prestasi pun yang dibuat atas perjanjian itu. Karena tidak ada, klien kami beberapa kali minta perjanjian di adendum, tetapi mereka tidak mengakomodir. Karena perusahaan tidak menepati janji, mereka tetap memanen. Karena dasar memanen tadi, mereka dilaporkan ke Polda Riau," kata Mardun.

Ketika proses perkara masih dalam tahap penyidikan di Polda Riau, kata Mardun, pihaknya telah bersurat kepada Kantor Sekretariat Presiden (KSP), Presiden, Komnas HAM, Komisi III DPR RI. "Semua surat itu sudah dibalas, tetapi dibalasnya ketika klien kami sudah menjadi terdakwa," tutur Mardun.

Mardun menceritakan, masyarkat memiliki lahan seluas 618 hektar tersebut, surat tanahnya diterbitkan oleh penghulu pada waktu itu. Lahan itu berada diluar izin konsesi perusahaan yang ditanam pohon akasia. Untuk memanen pohon akasia itu, dilakukan oleh Koperasi yang berbadan hukum.

"Artinya, sampai saat sekarang pun, pihak Triomas tidak bisa membuktikan secara nyata dan secara izin yang ada bahwa akasia itu milik mereka. Mereka mengklaim hanya berdasarkan notulen antara PT Triomas dengan RAPP. Kita tau, notulen bukanlah suatu alas hak, tetapi mereka mengatakan di notulen itu, RAPP mengaku dia yang menanam. Kita menyatakan itu (notulen) bukanlah alas hak, itu juga disampaikan oleh ahli yang kita hadirkan," ucapnya.

Mardun berharap, proses peradilan di PN Siak ini dapat berjalan fair dan yakin kliennya dapat vonis bebas murni. "Unsur atau dakwaan yang dituduhkan kepada klien kita, tidak sesuai dengan pasal 372 tadi. kita yakin klien kita insyaallah bebas murni," tuturnya.

 

Debat antara JPU dan Ahli Pidana

Ada situasi menarik yang terjadi di dalam persidangan ini. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Topan Rohmatullah sempat beradu argumen dengan ahli pidana dari Unri Erdiansyah. Saat itu Erdiansyah memaparkan soal perjanjian yang dibuat masing-masing pihak. Menurut Erdiansyah, ketika salah satu pihak tidak menepati perjanjian itu, maka hal itu adalah sebuah wanprestasi. Bisa saja dilakukan, tetapi tidak sesuai dengan yang disepakati.

Mendengar hal itu, JPU menanyakan kepada ahli kenapa bisa disimpulkan hal itu sebagai wanprestasi. Erdiansyah menjawab, karena ada alas perjanjian.

Namun jaksa berpandangan lain. Jaksa menyebut tidak boleh serta merta hal ini disimpulkan masuk ranah perdata, kata jaksa menyela. "Kesepakatannya adalah panen, itu ada di pasal 5, ketika tidak dipanen apa bisa dikatakan wanprestasi," tanya JPU.

"Kalau ini suatu alas yang disepakati masing-masing pihak, tetapi ada salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang disepakati, maka menurut ilmu pengetahuan saya, itu adalah keperdataan. Itu adalah wanprestasi, selesaikan dulu keperdataannya," tegas Erdiansyah.-dnr

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler