Kanal

Pepatah Kemaruk? (Biar Pecah di Perut Asal Jangan Pecah di Mulut)

BIARLAH pecah di perut asal jangan pecah di mulut. Pepatah Melayu ini sudah saya dengar sejak masih kecil, yang bermakna biarlah persoalan yang sedang dihadapi itu tidak menyebar kemana-mana. Cukup diketahui orang tertentu saja karena persoalan tersebut adalah ‘’aib.’’ Dalam skala kecil aib itu milik keluarga, sedangkan dalam skala besar persoalan itu adalah aib satu kelompok masyarakat budaya. Kenapa pepatah itu menggunakan kalimat ‘’pecah di perut, dan kalimat ‘’pecah di mulut?.”

Secara harfiah perut bermakna bagian tubuh yang berada di bawah rongga. Perut menyimpan dan memproses apa-apa yang masuk dari mulut. Sedangkan kata mulut adalah bagian terdepan tempat gigi dan lidah untuk memasukan makanan. Namun dalam kata perut pada pepatah itu, perut masih berfungsi sebagai penyimpang tapi bukan menyimpan sesuatu terutama makanan yang berasal dari mulut. Tapi perut pada kata ini bisa saja sesuatu yang didengar dan dilihat secara langsung. Kata perut dalam pepatah ini fungsinya menyimpan sesuatu masalah yang dihadapi atau diketahui agar tidak diketahui orang ramai, cukup kelompok tertentu atau kalangan tertentu saja yang mengetahuinya dan diyakini tidak akan memberi tahu kepada orang lain. Sesuatu yang disimpan haruslah tidak kelihatan, dan perut adalah media yang bisa menyembunyikan sesuatu tanpa bekas. Bahkan sesuatu yang disampan tanpa bekas itu sampai pecahpun perut maka yang disembunyikan tetap tidak kelihatan. Penciptaan makna dari kalimat ‘’biar pecah di perut,’’ adalah ketika seseorang yang menyimpan suatu rahasia dia rela mati dari pada menceritakan sesuatu yang disimpan tersebut. Pada kata perut ini juga terjadi pergeseran makna, terutama pada fungsi dan asal sesuatu yang masuk ke dalam perut.

Pada kata mulut dalam pepatah di atas juga mengalami pergeseran makna, mulut yang dimaksud dalam pepatah itu menjadi media (lisan) untuk berbicara menyampaikan sesuatu. Agar sesuatu yang disimpan di perut tidak disampaikan oleh mulut, sehingga dimajaskan menjadi ‘’jangan pecah di mulut.’’ Sebab, jika sudah pecah di mulut (dibicarakan) maka sesuatu yang disimpan dalam perut itu diketahui orang ramai.

Etomologi pepatah ‘’biar pecah di perut asal jangan pecah di mulut’’ dapat merujuk atau ambil dari kebiasaan orang Melayu yang patuh dengan pemimpin, terutama raja. Alasannya cukup sederhana, bila persoalan itu muncul dari kalangan rakyat jelata hal ini tidak akan disembunyikan, mudah tersebar ke mana-mana karena tidak ada ‘’doktrin’’ untuk menyembunyikan sesuatu itu bahkan sesuatu aib yang terjadi di kalangan masyarakat harus diungkap di hadapan pemimpin. Sedangkan jika aib itu berasal dari kalangan ‘’kerajaan’’ atau orang terpandang maka ada ‘’perintah’’ untuk menyembunyikannya sehingga muncul lah pepatah; ‘’biar pecah di perut asal jangan pecah di mulut.’’ Pepatah ini menjadi sesuatu kekuatan bagi ‘’raja’’ yang kemaruk (haus) akan kekuasan karena semua orang setia menyimpan keburukan atas kebijakan yang ia ambil, padahal merugikan semua orang.

Dalam Islam, aib seseorang memang tidak baik untuk diceritakan kepada orang lain, malah dijaga. Sehingga berlakulah pepatah,  "biar pecah di perut asal jangan pecah di mulut." Sedangkan jika aib itu milik semua orang atas perlakuan seorang raja yang zalim, maka terlalu berat tunjuk ajar ini dipertahankan bahkan bila kita tetap berpegang pada pepatah ini maka bisa saja kita bersubahat dengan sang raja, sehingga kesalahan itu semakin melebar. Apalagi dalam menciptakan kosmopolitan, pada dunia serba internet ini keterbukaan itu sangat penting. Sehingga pecah di perut bukan lagi sumpah menyimpan sesuatu sampai nyawa taruhannya, namun bila perut sudah terbusai, tak tahan lagi melihat kezaliman seorang raja (pemimpin), maka  mulut harus pecah. Dengan demikian, sesuatu yang disembunyikan itu harus diungkap untuk menyampaikan kebenaran meskipun nantinya semua kelompok masyarakat budaya menanggung aib baik mereka yang tidak berkepentingan dengan apa yang disembunyikan maupun mereka sebagai pelaku menyimpan sesuatu aib karena kezaliman. Sehingga masyarakat bisa menilai dan menentukan sikap.

Megat Seri Rama "terbusai perutnya," tak sanggup lagi menyimpan dan melihat kezaliman. Perut isterinya yang sedang bunting dan kempunan, teringin memakan seulas nangka tapi nangka yang dipikul Awang (penjaga kebun raja) yang melintas di depan rumahnya adalah milik raja. Pantang bagi raja memakan sisa dari rakyatnya. Sehingga Sultan Mahmud II yang semula bisa memahami persoalan ini karena terlalu besar jasa Megat Seri Rama untuk kerajaan, namun karena bisikan Patih Karma Wijaya, Sultan mendurhaka pada diri sendiri. Keluarlah tihtah membelah perut Dang Anum untuk melihat seulas nangka. Kematian isteri Megat Seri Rama ini disembunyikan, ‘’biar pecah di perut, asal jangan pecah di mulut.’’

Menjelang Salat Jumat, Megat Seri Rama membuat pernyataan reformasi; ‘’Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.’’ 

Jumat malam dua pekan lalu, begitu banyak "Megat Seri Rama," demi marwah Melayu mereka bersepakat membongkar kezaliman sang raja. "Megat Seri Rama" pecah di mulut dengan melakukan Mubeslub. ***

* Taufik Hidayat SS
Alumni Universitas Lancang Kuning/Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR)

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler