Kanal

Cegah Gagal Bayar, OJK Perketat Aturan Produk Asuransi

RIAUIN.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memperketat aturan dan pengawasan terhadap perusahaan asuransi setelah bermunculan persoalan gagal bayar terhadap pengajuan klaim nasabah. Kasus-kasus gagal bayar sebelumnya terjadi di PT AJB Bumiputera 1912 hingga PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi mengatakan aturan dan pengawasan yang lebih ketat akan menyasar bagi produk dan penempatan investasi yang dilakukan oleh para perusahaan asuransi. Khususnya pada asuransi jiwa yang disebut punya risiko lebih besar.

"Kedepan kami lihat untuk produk yang kaitannya dengan investasi mungkin perlu ada aturan yang mengawasi dan meyakinkan bahwa pembeli polis adalah mereka orang yang paham terhadap investasi yang dilakukan dan lebih jelas perjanjian kesepakatannya," ucap saat konferensi pers virtual, Kamis (27/8/2020).

Riswinandi meminta agen asuaransi memastikan pemegang polis mengerti produk yang ditawarkan.

"Perusahaan asuransi juga diminta lebih transparan," sambungnya.

Untuk aturan terkait produk, Riswinandi mengatakan perusahaan asuransi tidak boleh tiba-tiba mengeluarkan produk ke nasabah tanpa melaporkannya ke OJK melalui penyampaian rencana bisnis perusahaan.

Rencana bisnis pun hanya bisa disampaikan sebanyak dua kali dengan masing-masing memiliki kesempatan perubahan sebanyak satu kali.

"Contoh ada perusahaan asuransi mau terbitkan produk baru. Kalau dia tidak direncanakan, lalu jual produk yang kelihatannya bisa tingkatkan bisnis mereka saja, tapi tidak ada di rencana, kami tidak setujui, kami minta itu setelah ada persetujuan rencana bisnis," terangnya.

Kemudian, untuk produk yang sudah berizin dari OJK, harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di awal. Artinya, perusahaan asuransi tidak boleh mengubah ketentuan di pertengahan pemasaran asuransi, meski produk sudah mengantongi izin dari OJK.

"Produknya harus disetujui oleh OJK, tapi bukan berarti produk yang disetujui itu sudah bisa semaunya, harus ada pengawasan secara internal sesuai ketentuan. Mulai dari kesepakatan perjanjiannya, kan bisa saja ada perubahan," jelasnya.

Lebih lanjut, produk juga akan diawasi secara ketat dengan melibatkan otoritas di perbankan. Sebab, saat ini produk asuransi banyak dijual di bank.

"Maka produk yang disetujui akan dijual di bank, itu akan dilihat dulu oleh pengawas bank. Jadi tidak asal jual, akan dilihat risikonya bagaimana ke bank kalau jual produk asuransi itu," ujarnya.

Sementara terkait investasi, OJK di bidang pengawasan asuransi akan bekerja sama pula dengan pengawas pasar modal. Sebab, Riswinandi mencatat sekitar 80 persen investasi perusahaan mengandalkan investasi di pasar modal.

"Kami akan bangun sistem pengawas investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi, jadi nanti tidak hanya dari laporan bulanan dan berkala, tapi bisa masuk ke sistem yang ada di pengawasan pasar modal," ungkapnya.

Menurut Riswinandi, koordinasi kerja sama ini penting karena pada akhirnya kegiatan investasi melibatkan pergerakan pasar. Dengan begitu, perlu pengawasan ekstra, terkait volatilitas penghimpunan dana di pasar saham.

"Karena ini di-drive oleh market, bukan perusahaan asuransinya sendiri. Nanti ada pengawasan off site dari bank, pasar modal, semua digabung," tuturnya.

Lebih lanjut, seluruh hal ini dilakukan untuk meningkatkan pengawasan dan perkembangan industri asuransi ke depan. Sebab, Indonesia masih terbilang kalah dari negara-negara lain dalam hal menyelenggarakan pengawasan bisnis asuransi.

"Kita ketinggalan kalau dari benchmark yang ada di internasional. Maka kami ambil benchmark yang ada di bank tapi sesuaikan di asuransi," ucapnya.

Kendati begitu, Riswinandi mengklaim masalah gagal bayar asuransi saat ini sejatinya masih terbilang kecil. Pasalnya, masalah hanya terjadi di beberapa perusahaan saja.

Selain itu, ia menilai memang masalah gagal bayar biasanya akan lebih berisiko bagi perusahaan asuransi jiwa karena mengelola dana untuk jangka panjang. Sementara perusahaan asuransi umum kelola dana untuk jangka pendek.

"Kalau dibandingkan case dengan jumlah asuransi tidak besar, tapi yang bermasalah perlu tindak lanjut karena kenapa yang lain bisa jalankan klaim dengan baik," ujarnya.

Saat ini, OJK mencatat jumlah perusahaan asuransi di dalam negeri mencapai 101 perusahaan. Terdiri dari 61 perusahaan asuransi jiwa dan 79 perusahaan asuransi umum.

Berdasarkan data Juli 2020, OJK mencatat pertumbuhan premi asuransi jiwa masih terkontraksi sekitar 10,69 persen. Kontraksi meningkat dari sebelumnya minus 10,01 persen pada Juni 2020.

Sebaliknya, pertumbuhan premi asuransi umum mulai berbalik ke zona positif dengan tumbuh 2,22 persen pada Juli 2020. Sebelumnya, pertumbuhan premi minus 2,32 persen pada Juni 2020.

OJK melihat kondisi pertumbuhan premi masih dipengaruhi oleh kondisi pemulihan ekonomi di tengah pandemi virus corona atau covid-19. Sebab, aktivitas ekonomi pun belum lama dibuka kembali. - vie

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler