Kanal

Tradisi Mencokou Ikan di Kampar Kiri Hulu Menangkal Radikalisme

RIAUIN.COM - Masyarakat Desa Gema yang terletak di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, pernah terkenal seantero nusantara gara-gara adanya teroris yang bermukim di kawasan mereka. Sejak saat itu, masyarakat Desa Gema semakin memperkuat jalinan komunikasi sesama warga. Mereka tidak lagi cuek dengan kehadiran warga baru yang tinggal menetap di desa mereka dan sekitarnya.

"KAMI kebagian naas, Bang. Gara-gara pengakuan pelaku dan tersangka teror kepada aparat, nama desa kami jadi tak bagus. Seolah-olah Desa Gema adalah sarang teroris. Padahal masyarakat disini baik-baik saja," kata Aliet Panglima, tokoh pemuda Desa Gema, kepada Riauin.com saat berkunjung ke desa mereka.

"Kami sangat awas terhadap gejala negatif yang muncul, apalagi kehadiran orang-orang asing yang mencurigakan. Kami punya penangkalnya. Kami punya kearifan lokal," ujar Aliet Panglima lagi.

Kearifan lokal seperti apa? "Kami punya tradisi mencokou ikan di Sungai Subayang. Mencokou ikan itu artinya menangkap ikan bersama-sama. Sebuah tradisi mencerahkan pemikiran masyarakat tempatan," jelas Aliet.

Sebagaimana diketahui, nama Desa Gema tiba-tiba menjadi populer di media massa. Hal ini bermula dari penangkapan sejumlah terduga teroris oleh Tim Densus 88 bersama Polres Kampar dan Brimob Polda Riau pada Oktober 2018 silam. Mereka tertangkap terkait pengembangan jaringan terorisme yang melakukan aksi kerusuhan di Markas Brimbob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada Mei 2018, serta penyerangan Mapolda Riau tiga bulan kemudian.

Kepada aparat para tersangka mengaku sering melakukan latihan di sebuah bukit dekat Desa Gema, namanya Bukit Gema. Kemudian diberitakan oleh media massa. Alhasil nama Desa Gema menjadi perbincangan masyarakat luas. Polisi pun mulai melakukan pemantauan intensif terhadap aktivitas jaringan ini di kawasan hutan suaka margasatwa tersebut. Sampai akhirnya kawasan tersebut sudah dinyatakan aman dan bersih dari aktivitas jaringan terorisme dimaksud.

"Itu kan masa lalu, sekarang tidak ada lagi (lokasi latihan teroris di Riau)," kata Kapolda Riau Irjen Nandang, tahun 2018 lalu.

Desa Gema sendiri adalah suatu wilayah di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru sekitar 97 kilometer, atau dua jam melalui jalan darat. Desa Gema adalah desa yang terbilang maju karena pembangunan di sana tergolong pesat. Di sana melintas sebuah sungai yang jernih, dimana pada hulunya terdapat perbukitan yang indah. Namanya Sungai Subayang. Di hulu Sungai Subayang terdapat kawasan suaka margasatwa Rimbangbaling yang sangat terkenal keindahan alamnya.

Dulunya desa ini pernah menjadi pusat perjuangan di zaman perang kemerdekaan dan pada masa perang melawan PRRI-Permesta. 

***

Mencokou ikan, apa itu? Apa pula hubungannya tradisi menangkap ikan di sungai tersebut dengan menangkal radikalisme? Pertanyaan itu tentu saja butuh jawaban yang meyakinkan.

"Mencokou ikan itu acara besar yang melibatkan ribuan warga masyarakat. Baik masyarakat tempatan maupun masyarakat rantau. Di acara itu terbangun komunikasi yang sangat aktif dan terbuka di semua kalangan, Bang," jelas Aliet yang kini sedang menyelesaikan kuliah magister sosial politiknya di Universitas Riau.

Dikatakan, mencokou ikan sudah menjadi tradisi lama masyarakat Kampar Kiri Hulu khususnya yang dilintasi sungai Subayang yang hulunya adalah bukit Rimbangbaling. Tradisi ini bertujuan sebagai acara pertemuan masyarakat kampung dengan sanak saudara mereka yang pulang dari rantau. Untuk merayakan pertemuan tersebut dibuatlah acara menangkap ikan bersama-sama menggunakan jala, atau yang dalam bahasa lokal disebut mencokou ikan. Kemudian makan bersama.

Ketua Generasi Pesona Indonesia (Genpi) Kabupaten Kampar, Dodi Rasyid Amin, yang ditemui di Desa Gema mengatakan, dulunya tradisi mencokou ikan merupakan aktivitas para ketua suku untuk menyambut anak kemanakan mereka yang pulang dari rantau saban tahun. Mereka melarang masyarakat di kampungnya untuk mengambil ikan di lokasi-lokasi tertentu atau lubuk tempat ikan bermukim. Baik memancing apalagi menjala. Tujuannya agar saat dipanen ikannya banyak dan besar-besar.

Lokasi yang dilarang mengambil ikan  tersebut disebut sebagai lubuk larangan. Lubuk larangan ditandai dengan dua lintasan tali yang dipasang diatas sungai. Satu di hulu dan satunya lagi di hilirnya.

"Tidak ada yang berani mengambil ikan, karena risikonya diatur dengan hukum adat yang berat," kata Dody. Misalnya dikenakan denda membayar seekor kambing atau seekor kerbau bagi yang kedapatan melanggarnya. Atau yang lebih berat lagi hukuman sosial diberikan kepada pelaku dan keluarganya.

Kemudian tahun 1980-an sampai tahun 1995 mencokou ikan berkembang lebih luas lagi. Cakupan tradisi tersebut tidak lagi sebatas suku atau keluarga besar, tetapi sudah melibatkan kelompok masyarakat yang lain.

Sejak tahun 1995 seiring dengan perkembangan desa, tradisi mencokou ikan mulai dikelola oleh kepala desa, tokoh masyarakat dan pemuda, baik yang ada di kampung maupun yang datang dari perantauan. Semuanya bersama-sama menangkap ikan, kemudian hasilnya dibagi bersama-sama. Dimakan bersama-sama. Untuk ikan yang besar dan mahal dijual kepada masyarakat rantau yang berkecukupan. Atau siapa saja yang hadir di acara itu. Dana yang terkumpul digunakan untuk membangun desa, seperti infrastruktur atau membantu kegiatan pemuda.

Pada tahun 2000-an sampai sekarang, mencokou ikan sudah berubah menjadi even tahunan yang ditunggu-tunggu masyarakat. Sejalan dengan semakin suksesnya anak kemanakan yang tinggal di rantau, acara tersebut menjadi meriah dan dijadikan ajang silaturahmi yang terbuka. Mereka saling membincangkan banyak hal.

Kepala Desa Tanjungbelit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Efridesmi, menjelaskan, prosesi mencokou ikan bermula dari rapat pemuka masyarakat untuk menentukan kapan acara tersebut dilaksanakan. Biasanya tanggal yang dipilih sebelum masuk bulan puasa dan sedang musim kemarau. Setelah dapat jadwal, masyarakat bersama para pemuda mempersiapkan peralatan. Yakni puluhan batang buluh atau bambu, dan puluhan meter jala atau jaring.

Bambu tadi dipasang melintasi badan sungai. Ia disusun silang. Untuk menguatkannya bisa diikat dengan kawat, bisa juga dipaku. Setelah bambu terpasang baru ditempelkan jaring. Fungsi jaring untuk menahan agar ikan tidak keluar dari kawasan tangkapan.

Memasang alat pembatas sungai tersebut memakan waktu satu harian. Siang dan sore hari mereka bekerja, kemudian malam harinya duduk berkumpul bersama. Ngopi dan bercengkerama hingga larut malam.

Keesokan harinya barulah dilaksanakan prosesi utama, yakni mencokou ikan. Pertama sekali, acara dibuka dengan doa bersama yang dipimpin oleh ustad atau tokoh agama. Semua yang hadir memanjatkan doa kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, agar acara berlangsung lancar dan penuh keberkahan.

Setelah itu baru dilanjutkan dengan sambutan kepala desa atau pemimpin yang dituakan. Dia memberikan wejangan dan aturan kegiatan yang harus dipatuhi, sekaligus membuka acara.

Kepala desa memberi kesempatan kepada tokoh masyarakat untuk memulai menangkap ikan. Campak jalo pertamo namanya, atau melempar jaring perdana yang dilakukan oleh Datuk Godang, Datuk Singo dan Datuk Majo. Ketiga Datuk merupakan tokoh adat utama atau ninik mamak terkemuka di desa tersebut.

Mereka dibawa ke tengah sungai dengan sampan. Sampai di lubuk yang cukup dalam, jaring pun dilemparkan. Jaring ditarik dan ikan-ikan besar pun didapat. Ada banyak jenis ikan yang ditangkap. Misalnya ikan baung, kapiyek, tapah atau udang. Ikan yang paling mahal dari semua jenis ikan di sungai Subayang adalah ikan tapah. Satu kilonya bisa mencapai Rp150 ribu.

Ada prosesi yang menarik pada bagian ini. Ikan pertama yg didapat dipotong menjadi dua bagian. Bagian kepala dilempar ke darat, bagian ekor dibuang ke sungai. Hal ini sebagai simbol saling berbagi antara manusia dengan makhluk lainnya yang ada di dalam sungai atau alam terbuka.

Setelah jalo pertamo barulah dilanjutkan dengan penangkapan secara bersama-sama. Ada yang menggunakan jaring, ada juga tangguk. Atau berjalan dari hulu menuju batas bambu yang berada di hilir. Nanti ikan-ikan tersebut lari ke bambu pembatas, kemudian tersangkut di jaring-jaring yang terpasang di sana. Tinggal dikutip. Panen besar sudah dimulai.

Acara berlangsung satu harian. Cukup lama. Sampai sore hari baru acara dihentikan. Semua ikan yang didapat dikumpulkan. Ikan yang besar-besar dilelang secara terbuka. Siapa saja bisa mendapatkan ikan tersebut dengan cara menawar dengan harga tertinggi. Dana yang terkumpul inilah yang diserahkan kepada kepala desa untuk pembangunan dan menyantuni anak yatim.

Sementara ikan yang lain yang jumlahnya sangat banyak dibagi sama banyak untuk setiap kepala keluarga yang ada di desa itu. Cara pembagiannya cukup unik. Yakni membuat tumpukan kecil di tengah lapangan yang luas. Tidak pakai ditimbang, cukup dirasa sama banyak saja. Ada ikan yang utuh, ada juga yang dipotong-potong jika ukurannya besar.

Setelah pembagian selesai, masyarakat boleh mengambil jatahnya. Demi kebersamaan mereka masak bersama untuk dimakan beramai-ramai di tepi Sungai Subayang.

"Disinilah forum diskusi terbuka itu mencapai puncaknya. Tokoh rantau, tokoh masyarakat, pemuda, dan rakyat biasa duduk bercengkerama sambil menyantap hidangan. Ragam isu dibahas. Baik isu nasional, isu lokal maupun isu-isu tempatan. Di sana juga banyak informasi yang tidak benar menjadi terklarifikasi," tukas Aliet Panglima.

Apatahlagi, kata Aliet, tokoh rantau yang datang banyak yang berpendidikan tinggi dan bekerja di instansi yang bonafid. Misalnya kepolisian, jaksa, dosen, jurnalis, atau karyawan di perusahaan terkemuka. Mereka memberi pencerahan kepada masyarakat di kampung. 

"Termasuk klarifikasi yang sering menjadi pertanyaan masyarakat rantau, yakni tentang camp teroris di bukit kawasan Rimbangbaling, yang oleh media disebut dengan istilah Bukit Gema. Setiap tahun mereka selalu menanyakan perkembangan tersebut," jelasnya.

Kepala Desa Gema Nizam Akbar mengatakan, "Kami sudah mengklarifikasi kepada sanak di rantau bahwa camp teroris tersebut tidak di kawasan Gema. Nama Bukit Gema tidak dikenal disini. Bukit itu masih lima kilometer ke atas. Ia sudah masuk di kawasan hutan suaka. Lokasi camp jauh di dalam hutan. Memang waktu itu mereka melintas melewati Desa Gema, tapi cuma melintas saja seperti pengunjung wisata alam Rimbabaling lainnya. Di bukit itu pun mereka tidak berinteraksi dengan masyarakat desa yang ada, karena pasti sulit juga."

Kenapa sulit pak Kades?

"Karena di desa itu juga ada tradisi mencokou ikan. Masyarakatnya selalu berbagi informasi, termasuk informasi yang negatif di desa mereka. Mereka selalu awas terhadap hal-hal yang mencurigakan," tambahnya.

Nizam benar. Seperti kata Dody Rasyid, di sepanjang Sungai Subayang terdapat sembilan desa. Semua desa di sana memiliki sejumlah lubuk larangan. Ini adalah modal untuk menggelar tradisi mencokou ikan saban tahun.

"Dan asiknya, acara mencokou ikan yang digelar setiap desa dihadiri oleh warga desa yg lain. Mereka ikut menjadi penonton dan peserta lelang. Mereka juga ikut saling bertukar informasi dengan semua masyarakat yang hadir. Terjadi komunikasi masyarakat antardesa. Semua jadinya ikut meluruskan jika ada informasi yang dianggap keliru," jelas Dody. 

Demikianlah. Tradisi mencokou ikan yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam sampai sekarang masih terjaga oleh masyarakat Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Meskipun ia dilaksanakan sekali dalam satu tahun, namun ada sekitar dua puluh desa yang melaksanakan acara mencokou ikan, maka frekuensi pertemuan antarmasyarakat menjadi tinggi. Dan ini adalah penghalang sekaligus pencegah radikalisme berkembang di sana. - Eka Putra

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler