"Orang Riau telah menyabung nyawa.
Berjuang dengan darah dan airmata...
Menyerahkan hasil bumi dan kekayaan negerinya kepada Republik ini..
Orang Riau bukan numpang merdeka di Republik ini…
Apakah Riau dan Jambi harus berperang lagi untuk bisa berprovinsi sendiri….?"
PIDATO yang berapi-api itu senantiasa berkobar dalam setiap rapat Parlemen RI (kini bernama DPR RI) kala itu sempat “merepotkan” Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Menteri Dalam Negeri Raden Sunaryo.
Buya Marifat Mardjani politikus Indonesia dari Partai Islam Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti) sebagai julukan "SINGA PANGGUNG" yang berani memperjuangkan pemekaran wilayah Sunatera Tengah menjadi 3 provinsi (Sumatra Barat, Jambi, dan Riau)
Bahkan, Buya sapaan akrab ulama besar dari Kuantan Singingi ini siap jika dipecat (di-recall) oleh DPP Perti, partai tempat Buya bernaung, demi memperjuangkan pemekaran wilayah tersebut.
Sebagai anggota parlemen RI, Buya memperjuangkan Provinsi Riau berawal ketika dirinya menjadi anggota Parlemen RI mewakili Provinsi Sumatra Tengah.
Buya mencalonkan diri sebagai anggota Parlemen RI pada Pemilu 1955. Buya maju dari daerah pemilihan Indragiri dengan raihan to to6666 suara. Kini Indragiri mekar menjadi tiga kabupaten: Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Kuantan Singingi.
Tercatat dalam sejarah, dari 12 anggota parlemen RI dari Sumatra Tengah hanya Buya dari Riau bersama Syech Haji Muhammad Oemar Bafadhal seorang ulama keturunan Arab dari Jambi yang berasal dari luar Sumatera Barat.
Selebihnya (10 orang) berasal dari Sumatra Barat. Yakni H. Mansyur Daud Dt. Panglimo Kayo, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, Dr. H. Ali Akbar, Rahmah El Yunusiah, dan Zainal Abidin Ahmad dari Partai Masyumi.
Kemudian, H. Siradjuddin Abbas, H. Rusli Abdul Wahid, dan Tengku Said Mardjohan dari Partai PERTI serta Bachtaruddin (PKI) dan Dr. Syekh H. Djalaluddin (PPTI).
Buya dilantik sebagai anggota Parlemen Senin, 26 Maret 1956 sekitar pukul 11.00 WIB. Di parlemen inilah Buya mulai bersuara lantang memperjuangkan berdirinya Provinsi Riau.
Pada Sidang Parlemen 17 April 1956 Buya menyatakan Pemerintah Pusat KURANG perhatian terhadap daerah Riau.
Selanjutnya dalam Sidang Parlemen 15 Oktober 1956 Buya mempertanyakan keterlambatan Pemerintah Pusat dalam memproses pembentukkan Provinsi Riau.
Merasa perjuangannya kurang direspon Pemerintah Pusat, empat hari berikutnya, 19 Oktober 1956 Buya kembali mempertanyakan waktu yang pasti akan dibentuknya Provinsi Riau.
Usulan Buya membentuk Provinsi Riau dikabulkan oleh Pemerintah Pusat. UU Nomor 61/1958 sebagai pengganti dan berasal dari UU Darurat Nomor 19/1957 memberikan kesempatan kepada Riau dan Jambi untuk self supporting (mendukung diri sendiri) dan membangun daerahnya.
Melalui UU Nomor 61/1958 telah menjadikan daerah Sumatra Tengah menjadi tiga daerah Swantantra Tingkat I yaitu: Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.
Pada tahun 1958 Buya diangkat menjadi Penasehat Gubernur Riau pertama, Mr. Sutan Muhammad Amin Nasution yang lebih dikenal SM Amin yang menjabat sejak 5 Maret 1958 hingga 6 Januari 1960.
SM Amin ditugaskan jadi Gubernur Riau pertama berkedudukan di Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman.
Lalu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor. I / 44-25 pada tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru menjadi ibukota Provinsi Riau menggantikan Tanjungpinang.
NAMA besar Buya sebagai bukti eksistensi dan perjuangannya kini diabadikan sebagai nama kantor, jembatan, dan tugu.
Misalnya: Kantor Forum Komunikasi Masyarakat Riau (FKMR) yang diberinama BALAI MA’RIFAT MARJANI berlokasi di Jl. T Kembangsari, Cinta Raja, Sail, Pekanbaru.
Kemudian nama JEMBATAN MA’RIFAT MARDJANI yang menghubungkan Desa Lubuk Ambacang dan Desa Koto Kombu di Kecamatan Hulu Kuantan. Sedangkan tugu Ma’rifat Mardjani terdapat di Mall SKA Pekanbaru yang sekarang masih berdiri kokoh.
Namanya juga diabadikan sebagai perpustakaan MA'RIFAT MARDJANI di MAN 1 Kuantan Singingi di Telukkuantan.
Selain itu Buya juga menerima Piagam penghargaan dari Rektor Universitas Riau pertama Prof. Dr. Muchtar Lutfi, M.A berupa Kalung SUMMA DHARMA kelas II (dua). Penghargaan itu sebagai tanda telah berjasa disertai dengan ucapan terima kasih atas dharma bhaktinya kepada Universitas Riau.
Buya menerima pengharaan itu sesuai dengan SK Buya menerima penghargaan Rektor Universitas Riau No. 197/PT22H/1987 tanggal 1 April 1987 diberikan sebutan PERINTIS Pekanbaru. Dan, piagam penghargaan itu diserahkan pada 27 September 1988.
Kemudian Buya menerima Piagam penghargaan pahlawan Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia di Provinsi Riau tertanggal 9 Agustus 2018 oleh Gubernur Riau H. Arsyadjuliandi Rahman.
BUYA lahir 18 Agustus 1917 di Desa Mudik UlO Kecamatan Hulu Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Terlahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara pasangan MALIN BARU dan SITI MARIAM.
Sekolah Rakyat diselesaikannya tahun 1930 di Desa Lubuk Ambacang. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Agama Tarbiyah Islamiyah di Batuhampar, Sumatera Barat. Dan Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) tahun 1941 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Setelah menamatkan sekolahnya Buya menikah dengan FATIMAH HADI yang merupakan anak dari SYECH MUHAMMAD HADI dan SITI MARYAM kelahiran Makkatul Mukaramah (Saudi Arabia) pada 15 Agustus 1927.
Syech Muhammad Hadi adalah tokoh dan ulama besar di Sumatera. Ia ikut andil mengembangkan agama Islam di daerah ini. Ke-ilmuannya diperoleh bukan saja dari pondok pondok pesantren di Sumatra dan Jawa. Ia bahkan lama bermukim di Makkah dan Madinah.
Setelah pulang ke tanah air, Syech Muhammad Hadi menjadi MUKTI Kerajaan Indragiri sebelum pemekaran Kabupaten Indargiri: Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu. Dan Kuantan Singingi merupakan pemekeran dari Indragiri Hulu .
Dari pernikahannya dengan FATIMAH HADI seorang pejuang dan pendidik itu mereka dikaruniai 11 orang anak. Keluarga besarnya kini tersebar mulai dari Kuantan Singingi hingga Perawang, Belitung, Pekanbaru, Jakarta, Kalimantan, dan di luar negeri seperti: Osaka (Japan), West Yorkshire (Inggeris).
Dosen UNRI, Pekanbaru Prof. Dr. Isjoni Ishaq mengatakan, sosok Buya adalah pejuang tangguh. Tak kenal lelah dan berani memperjuangkan kebenaran. Provinsi Riau ada karena Buya.
“Sejarah telah mencacat dalam tinta emas perjuangan Buya itu,” ujar Guru Besar Sejarah ini.
Sementara Mantan Anggota DPRD Riau asal Kuantan Singingi Abu Bakar Siddik yang akrab disapa ABBS mencatat perjalanan dan sepak terjang Buya.
Ketika masih jadi Wartawan Kampus Bahana Mahasiswa, ABBS masih sempat mengabadikan pola hidup Buya yang sangat sederhana dan membenci pejabat yang berdasi ke mana-mana, sedangkan rakyat menderita.
ABBS pun sempat "menyergah" Wakil Gubernur Riau Drs. H. Baharuddin Jusuf (Alm) tentang minimnya perhatian Pemerintah Provinsi Riau kepada Pejuang Pendiri Provinsi Riau itu.
“Pak Bahar menyatakan, Buya itu adalah sosok pejuang sejati yang nirpamrih. Buya sangat ikhlas berjuang untuk negerinya, bahkan selalu menolak setiapkali mau dibantu," ungkap Wagubri, seperti yang ditulis ABBS di Surat Kabar Kampus Bahana Mahasiswa Universitas Riau, edisi Juli 1989.
Buya yang nirpamrih ini, di sisa hayatnya masih mengelola Riau Buletin di Jalan Lokomotif 44 Pekanbaru, dan menghembuskan nafas terakhir pada 29 Mai 1989.
Perjuangan yang gigih tanpa pamrih perlu menjadi teladan, namun lebih berarti bagaimana mengisi dan melanjutkan perjuangan Buya dengan mengoptimalkan pembangunan dan mensejahterakan masyarakat.
ALFATIHAH kita sampaikan kepada pejuang sejati ini. Kami warga Riau umumnya dan Kuantan Singingi khususnya akan selalu mewarisi semangat perjuanganmu yang berkobar-kobar di hati kami dan tak akan pernah melupakan jasa-baktimu untuk kejayaan Negeri Serantau ini.
Esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti. Takkan Melayu hilang di Bumi Melayu Riau!
Insya Allah.
ABBS mengharapkan kini saatnya generasi penerus melanjutkan cita-cita pendiri itu. Dengan hasil Bumi yang melimpah.
Di atas minyak
di bawah minyak.
Apakah kita sudah sejahtera?
Jawabannya:
BELUM..!
Ditulis: Sahabat Jang Itam