Peran Perempuan di Ranah Politik dan Penyelenggara Pemilu 2024


Senin, 25 September 2023 - 19:10:45 WIB
Peran Perempuan di Ranah Politik dan Penyelenggara Pemilu 2024

RIAUIN.COM- Peran perempuan di ranah politik itu sudah jelas diatur dalam UUD 1945, yakni tidak ada perbedaan hak politik antara laki laki maupun perempuan dalam hal dipilih dan memilih, dan juga sebagai penyelenggar. Bahkan dalam UU Pemilu Nomor  7 Tahun 2017 diamanatkan keterwakilan perempuan pada pasal 10 ayat 9 dan di dalam Peraturan Bawaslu pasal 9 ayat 11 tentang keanggotaan Bawaslu provinsi dan kabupaten kota paling sedikit 30 persen keanggotaan perempuan.

Hal itu menjadi topik bahasan dialog interaktif Gerakan Cerdas Memilih yang ditaja RRI Pekanbaru dengan Ketua KPU Kabupaten Bengkalis, Elmiawati Safarina dan Divisi Partisipasi Masyarakat Perhimpunan Pemilih Indonesia (PPI) Riau, Witra Yeni SIP MSi yang mengangkat tema Perempuan di Ranah Politik dan Penyelenggara Pemilu 2024, Senin (25/9/2023).

Ketua KPU Kabupaten Bengkalis, Elmiawati yang akrab disapa Elsa mengatakan, walaupun secara regulasi kepengurusan dalam Parpol maupun pencalegan ditetapkan 30 persen keterwakilan perempuan, namun yang duduk di parlemen jumlahnya sangat sedikit. Data dari tahun 2014, ada 28 persen perempuan duduk di parlemen namun di tahun 2019 tinggal 19 persen keterwakilan perempuan di parlemen.

"Di Kabupaten Bengkalis misalnya, dari 45 anggota legistalif hanya 4 perempuan yang duduk menjadi anggota DPRD," kata Elsa.

Keterwakilan perempuan di 2024 sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 minimal 30 persen dan dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ada sedikit perubahan, bahwa cara penghitungan per dapil ada perbedaan. Setelah putusan MA kemarin, namun KPU belum dapat arahan dalam penerapannya di lapangan. Artinya, belum bisa digunakan pembulanan ke atas, karena tidak punya cukup waktu untuk penerapannya mengingat tahapan Pemilu sudah berjalan.

Disinggung mengenai perempuan cenderung sedikit memilih perempuan, Elsa mengatakan, walaupun regulasi mewajibkan 30 persen keterwakilan perempuan. Artinya, cukup besar kesempatan perempuan untuk dapat duduk di parlemen, kalau perempuan memilih perempuan.

"Partisipasi perempuan yang berkecimpung di politik cukup besar. Dilihat dari jumlah pemilih lebih besar laki laki, tapi yang berpartisipasi memilih di hari H itu, perempuan. Hanya saja yang terpilih jauh lebih besar laki laki. Perubahan itu terjadi dibilik suara, pemikiran perempuan berubah," katanya.

Kesadaran politik perempuan yang mewakili keterwakilan perempuan lebih besar, ini yang belum disadari. Meski regulasi sudah berikan hak 30 persen untuk perempuan, kalau di hari H perempuan memilih perempuan, maka jumlah keterwakilan perempuan bisa lebih besar dari sekarang.

"Karena kalau saya lihat, penentuan memilih itu bisa berubaha di bilik suara. Perempuan memilih melihat dari rekam jejak dan tokoh, menjadi tolak ukur menilih seseorang," ujar Elsa.

Sementara itu, Witra Yeni menjelaskan, keberadaan Perhimpunan Pemilih Indonesia (PPI) yang baru berdiri pada Oktober 2022 diharapkan bisa memberikan pendidikan dan pencerahan kepada pemilih, terutama pemilih pemula. Sebab, berdasarkan hasil riset PPI tanggal 22-28 Agustus, jumlah pemilih pemula tahun 2024 mencapai 54,6 persen.

"Tentu mereka perlu wawasan pengetahuan yang komplek, bagaimana pemilih itu. Ditambah lagi dengan keluarnya keputusan MK Nomor 65 tahun 2023 tanggal 16 Agustus, kampanye dibolehkan di lingkungan kampus. Pelu dibahas bagaimana kampanye masuk kampus, seperti apa. apalah mahasiswa itu sudah siap dengan masuknya kampanye di kampus," ujar Witra Yeni.

Keberadaan PPI, lanjutnya terdiri dari mantan komisioner Bawaslu, tim ahli Bawaslu RI, Dewan Pers dan aktivis serta mahasiswa. Kompleksitas personel di PPI membuat organisasi ini berwana untuk berdiskusi bagaimana mencerdaskan pemilih dalam Pemilu, karena lapisan masyarakat memerlukan pendidikan politik.

Terkait mengenai peran perempuan di ranah politik, Witra Yeni mengatakan, kultur, struktural dan bias gender yang menghalangi langkah perempuan dalam politik dan penyelenggara Pemilu. Kendalanya, budaya timur masih melekat di konstruksi masyarakat. Konstruksi seperti itu yang membuat perempuan surut. 
"Perempuan yang ingin masuk ke ranah politik dan penyelenggara harus sudah selesai diurusan domestik, dalam hal ini rumah tangga. Domestik, logistik dan restu diperlukan. Dalam konstruksi masyarakat kita, politik dan penyelenggara itu dunia yang keras, meskipun dalam konstitusi kita tidak ada satu pasal pun yang melarang keterlibatan perempuan dalam berpolitik," ujar Witra.  

Pendidikan politik tidak hanya diberikan kepada Parpol tapi juga kepada masyarakat.  Namun realitanya perempuan masih banyak kendala untuk berkecimpuk diranah politik, maupun penyelenggaran Pemilu.

"Beberapa hal yang menjadi kendala, pertama konstruksi di masyarakat, itu pekerjaan laki laki. Ini tantangan sendiri dari persepsi masyarakat yang melemahkan perempuan. Karena tuntutan pekerjaan baik di legislatif maupun penyelenggara tak kenal waktu, bahkan rapat bisa sampai tengah malam. Turun kelapangan dan bahkan sampai tidak pulang," ucapnya.

Keterwakilan perempuan di parpol dan penyelenggara pemilu itu sangat penting, karena pemilih perempuan juga banyak, hampir berimbang dengan jumlah laki-laki. "Maka perlu perempuan terjun di dunia politik dan penyelenggara pemilu," tuturnya. -vie