Catatan Eka Putra

Profesionalisme Jurnalistik Menguatkan Pelayanan Publik


Kamis, 20 April 2023 - 15:30:00 WIB
Profesionalisme Jurnalistik Menguatkan Pelayanan Publik Eka Putra (Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Riau)

KEBEBASAN pers merupakan salah satu prasyarat penting bagi demokrasi. Tujuan kebebasan pers adalah memberikan informasi melalui saluran media untuk melindungi kepentingan publik. Namun, dalam konteks demokrasi, interpretasi kebebasan pers juga memiliki dilema. Praktik kebebasan pers selalu dianggap sama sekali tidak sesuai dengan kepentingan publik. Dalam konteks ini, isu mengenai interpretasi konsep dan praktik kebebasan pers dan terpenuhinya kepentingan masyarakat umum semakin diperdebatkan. Setiap aktor dalam industri media dan masyarakat umum memiliki pemahaman, interpretasi dan konsep kebebasan media dan kepentingan publik yang berbeda. Konseptualisasi, interpretasi, pemahaman, dan implementasi kebebasan pers serta aktualisasi kepentingan publik dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan perkembangan demokrasi di masing-masing daerah. .

Artikel ini akan melihat sejauh mana konsep kebebasan pers benar-benar sejalan dengan kepentingan rakyat banyak. Pearson & Fernandez tahun 2015 mengkaji kebebasan pers di Australia yang mengungkapkan bahwa kebebasan pers seringkali bertentangan dengan hak-hak individu seperti reputasi pribadi, privasi serta isu-isu penting terkait keamanan nasional. Kenyataannya, terdapat retorika kebebasan pers yang dikatakan sejalan dengan kepentingan publik dibandingkan dengan praktik kebebasan pers yang justru memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

Sebelum melanjutkan dengan artikel ini, terlebih dahulu kita harus memahami arti dari kebebasan pers. Dalam sejarahnya, perlindungan hak untuk bebas dari pengaruh atau tekanan pemerintah dimulai sejak penyusunan Magna Charta pada tahun 1215. Magna Charta yang terjadi di Inggris pada tahun 1215 tersebut memberikan tonggak penting pembatasan kekuasaan negara serta menekankan hak atas kepemilikan. Glorious Revolution yang terjadi di Inggris pada tahun 1668 memunculkan Bill of Rights. Revolusi ini menandai berakhirnya kekuasaan mutlak raja-raja. Dalam konteks pers, jelas disebutkan dalam Pasal 12 Virginia Bill of Rights tanggal 15 Mei 1776 tentang kebebasan pers. Selanjutnya, semangat Piagam Virginia dimasukkan ke dalam Institusi Amerika Serikat pada tahun 1787. Pada 1789 Piagam Virginia juga diadopsi oleh Perancis sebagai kebebasan berbicara dan berpendapat. Kebebasan ini menunjukkan tidak adanya campur tangan dari negara atau pemerintah atau elemen masyarakat lainnya, baik secara individu maupun kolektif dalam memberikan informasi kepada masyarakat, dan keberadaannya dilindungi secara kelembagaan oleh negara.

Salah satu pendekatan untuk melihat praktik kebebasan pers adalah teori libertarian. Teori pers bebas merupakan antitesis dari pendekatan sebelumnya dalam praktik pers, yaitu pers otoriter yang menjadikan pers tunduk pada pemerintah atau negara. Khan, Limpot, & Villanueva (2020) mengatakan bahwa surat kabar libertarian bertujuan untuk kebebasan pers, yang menolak campur tangan pemerintah atau otoritas dalam memberikan informasi kepada pembacanya. Pers, dalam teori libertarian, bukanlah subordinat dari partai yang berkuasa, melainkan mitra sejajar pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan.

Pers bebas diyakini lahir dari rahim libertarian, yang menjadikan kebebasan individu sebagai hak asasi manusia. Alfatih & Andarini (2021) menjelaskan bahwa lahirnya pers bebas dipengaruhi oleh filosofi libertarian yang berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Prinsip demokrasi yang menghargai dan memberikan kebebasan individu dalam melihat realitas sosial merupakan prinsip utama dalam filsafat libertarian. Abad kedelapan belas diyakini sebagai abad di mana prinsip-prinsip pers secara keseluruhan bergeser dari otoriter menjadi libertarian. Kekuasaan raja untuk mengawasi pers dihapuskan, gereja tidak lagi berfungsi sebagai lembaga pengawas, dan monopoli negara atas penerbitan dihapuskan. Pada akhir abad ini, prinsip-prinsip pers libertarian tertanam dalam undang-undang dasar dan lembaga yang melindungi kebebasan berbicara dan kebebasan pers.

Kontribusi utama dari liberalisme dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam hubungan antara media pers dan pemerintah, terletak pada pentingnya mengakui bahwa setiap individu memiliki kapasitas untuk berpikir, keyakinan dalam kemampuannya, dan pemahaman tentang hak asasi manusia. Konsep ini mencakup kebebasan beragama, kebebasan berbicara, dan kebebasan media. Menurut Triyono (2013), dasar-dasar demokrasi seperti kebebasan berbicara dan kebebasan media, yang dianggap sebagai hak fundamental yang tidak dapat dicabut, didasarkan pada beberapa asumsi penting.

Salah satu dari asumsi tersebut adalah bahwa manusia cenderung mencari kebenaran dan akan diarahkan oleh kebenaran tersebut. Asumsi lainnya adalah bahwa satu-satunya cara yang pada akhirnya akan mengungkapkan kebenaran adalah melalui kemampuan untuk berbicara bebas dalam suatu "pasar terbuka" gagasan. Asumsi lainnya adalah karena setiap individu memiliki pandangan yang berbeda, maka setiap orang harus diizinkan untuk mengutarakan pandangannya sendiri dengan bebas, selama tindakan tersebut tidak menghalangi hak yang sama bagi orang lain. Asumsi terakhir menyatakan bahwa melalui konfrontasi dan perbandingan ide-ide yang beragam, akan muncul pandangan yang paling rasional dan dapat diterima oleh semua pihak.

Kembali pada persoalan kebebasan pers yang dipandang tidak sejalan dengan kepentingan publik, hal ini bisa terlihat dari rendahnya profesionalisme para praktisi media. Profesionalisme jurnalistik menuntut para praktisi media untuk mengedepankan nilai-nilai komitmen, otonomi, keahlian dan tanggung jawab. Fraser Bond dalam Mari (2015) mendeskripsikan empat jenis karakteristik profesi jurnalis, yaitu: 1) Otonomi, sebagai kebebasan untuk mengendalikan diri dalam membuat penilaian dan menentukan organisasi; 2) Komitmen yang mengutamakan pelayanan, bukan keuntungan ekonomi pribadi; 3) Keahlian dalam melakukan pelayanan yang didasarkan pada keterampilan intelektual dan pengetahuan yang sistematis; 4) Tanggung jawab adalah kemampuan untuk memenuhi kewajiban berdasarkan penerapan kode etik.

Katerynych (2021) dalam jurnalnya yang berjudul Professional Competencies of a Modern Education Journalist sebagai “sesuatu yang memiliki nilai material atau spiritual tertentu”, termasuk tanggung jawab sosial, identitas profesional, memenuhi prinsip etika, berpikir kritis, kreativitas dan inovasi, dan selalu berusaha untuk perbaikan dan pengembangan diri. Profesionalisme adalah suatu paham yang menekankan pada kecakapan profesional yang tinggi pada khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan.

Seseorang dapat disebut profesional jika memenuhi enam ciri sebagai berikut: 1) Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khusus di bidangnya; 2) Menerima gaji, honorarium, atau imbalan materil yang sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperoleh; 3) Semua sikap, perilaku, dan aktivitas kerja dilindungi dan dipengaruhi oleh keterikatan moral dan etika dengan kode etik profesi; 4) Bersedia secara sukarela bergabung dengan salah satu organisasi profesi sesuai dengan keahliannya; 5) Memiliki kecintaan dan dedikasi yang luar biasa pada bidang pekerjaan yang dipilih dalam profesinya; 6) tidak semua orang mampu melaksanakan pekerjaan profesional karena untuk mendalaminya diperlukan penguasaan keterampilan atau keahlian tertentu. Dengan mengacu pada enam syarat di atas, jelas terlihat bahwa surat kabar merupakan bidang pekerjaan yang membutuhkan keterampilan profesional.

Dalam proses pengembangan profesi wartawan, mereka bekerja di industri media dengan tujuan utama melayani kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks kepentingan publik, fungsi utama jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran kepada masyarakat agar mereka dapat memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam kaitan ini, jurnalisme pada dasarnya terkait dengan pelayanan publik (Abar, 2020).

Apa ciri-ciri jurnalis profesional? Kata profesional merupakan pengembangan dari pada kata profesional, profesi yang tentunya berbeda dengan hak untuk sekedar bekerja. Fitur atau karakteristik profesional memiliki 6 kriteria. Johnson (2016) dalam bukunya Profession and Power mengatakan dasar-dasar profesi adalah: 1) Keterampilan berdasarkan pengetahuan teoritis; 2) Pelatihan dan pendidikan; 3) Bergabung dengan organisasi; 4) Mematuhi kode etik profesi; 5) Mematuhi aturan profesional; 6) Melakukan pekerjaan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain melalui tugas dan fungsi jurnalistik tanpa mengharapkan imbalan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wartawan profesional melakukan pekerjaan yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan yang tinggi, dipersembahkan untuk masyarakat luas, ditempatkan dalam organisasi profesi wartawan yang dapat mengawasi atau mematuhi kode etik jurnalistik.***

  • Eka Putra ST MSc adalah Dosen tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau yang juga seorang wartawan. Saat ini penulis berdomisili di Pekanbaru.