Suhu Politik dan Tantangan Demokrasi Indonesia


Jumat, 09 Juni 2023 - 23:45:24 WIB
Suhu Politik dan Tantangan Demokrasi Indonesia Khairani Zein, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Riau

Penulis : Khairani Zein

 Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Riau

PELAKSANAAN Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 akan dilaksanakan pada 14 Februari, rakyat akan memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi serta DPRD kabupaten dan kota. Tahapan-tahapan pesta demokrasi sejak akhir tahun 2022 kemarin sudah disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mulai dari jawal dan tahapan pelaksanaan Pemilu hingga pembentukan panitia Ad Hoc di tingkat kecamatan dan kelurahan, seperti PPK, PPS hingga Panwascam dan Pantarlih.

Menjelak pesta demokrasi tahun 2024 ini suhu politik semakin memanas, hampir disetiap kalangan masyarakat membicarakan mengenai peta politik yang terus berkembang. Fenomena ini menunjukkan bahwa politik bukan saja milik partai dan elit-elit politik saja, tapi milik seluruh masyarakat Indonesia. Karena sejatinya mesin politik itu adalah berada digrass roots.

Dalam Pemilu tahun 2024, parpol peserta Pemilu harus bekerja keras untuk dapat memenuhi ambang batas parlemen atau yang dikenal dengan parliamentary threshold, yakni syarat minimal perolehan suara agar parpol bisa diikutkan dalam penentuan kursi di DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Penetapan 2,5 persen perolehan suara berdasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 mulai diterapkan.

Seluruh partai politik akan bekerja keras dan menggunakan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk bisa lolos parlemen pada Pemilu 2024 mendatang. Di samping bekerja keras untuk masuk ke Parlemen, partai-partai tersebut juga akan memutar strategi dengan cerdas guna mengantar calon presiden dan wakil presiden yang didukungnya memenangi kontestasi Pilpres.

Pesta Demokrasi di Republik ini diharapkan mampu menggerakkan arus besar kekuatan masyarakat agar menggunakan hak konstitusional mereka untuk memilih calon anggota legislatif di semua tingkatan, sekaligus calon presiden dan wakil presiden. Masih di tahun yang sama, rakyat Indonesia juga akan memilih calon kepala daerah. Baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Akibat kontestasi yang ramai di tahun 2024 mendatang, tidak berlebihan sebetulnya jika suhu dan tensi politik di republik ini akan meningkat secara signifikan.

Belajar dari Pemilu 2019

Fakta bahwa Pemilu 2019 adalah Pemilu terbrutal yang pernah dijalani masyarakat di republik ini, adalah sebuah fenomena yang tidak bisa terbantahkan. Gesekan politik yang sangat besar membuat fragmentasi masyarakat terpolarisasi ke dalam dua kanal besar fanatisme yakni, Pendukung Jokowi dan Pendukung Prabowo.

Pengalaman buruk Pemilu kemarin seharusnya bisa menjadi guru yang berharga bagi perjalanan politik bangsa ini. Hadirnya 3 bakal calon presiden setidaknya akan menjadi katalisator dari fanatisme politik masyarakat yang sudah mengakar sejak 2019 yang lalu.

Nama Anies, Ganjar dan Prabowo barangkali menjadi alat yang ampuh untuk mengurangi fanatisme dan polarisasi politik masyarakat di tahun 2024. Namun, 3 pasang calon presiden tersebut memungkinkan penyelenggaran Pemilu mendatang menjadi 2 putaran dan konsekuensinya adalah anggaran penyelenggaraan Pemilu juga akan ikut membengkak.

Sebagai bagian dari Proses demokrasi, panas dan heboh soal politik di tahun-tahun yang akan datang adalah bahagian dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi harus di kawal bersama, keikutsertaan masyarakat dalam pembicaraan politik, kepedulian masyarakat terhadap isu-isu politik dan netralitas penyelenggara negara harus terus di dorong. Muaranya adalah kualitas demokrasi dan indeks demokrasi di Republik ini semakin baik tidak hanya bagi masyarakat di tingkat nasional, namun juga di mata Internasional.

Waspada Ancaman Hoax dan Provokasi Sara

Masalah terbesar bagi demokrasi pada era disrupsi tekhnologi adalah mudah menyebarnya informasi sesat, penyimpangan informasi (hoax) dan mudahnya masyarakat terprovokasi isu sara, ras dan antar golongan. Oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, kemajuan digital telah dimanfaatkan untuk menciptakan permusuhan sesama masyarakat dan membuat konflik politik semakin meruncing. Barangkali Ini adalah persoalan serius dan menjadi tanggung jawab kita semua untuk menciptakan kualitas demokrasi tetap terjaga dengan baik.

Di tengah rendahnya tingkat literasi masyarakat kita, penyeberluasan informasi sesat ini adalah patologi yang harus di tanggulangi oleh kita semua, seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kalau radikal bebas dari problem penyebar luasan informasi sesat ini berhasil di tanggulangi, maka heterogenitas kita sebagai sebuah negara akan tetap utuh dalam bingkai bangsa yang bernama Indonesia. ***