Catatan Eka Putra

Kompetensi Wartawan Sebuah Keniscayaan


Senin, 02 Mei 2022 - 17:19:38 WIB
Kompetensi Wartawan Sebuah Keniscayaan Eka Putra

KOMPETENSI wartawan adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisa tidak, yang namanya profesional harus punya tolok ukur. Dan, wartawan sebagai profesi yang dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 termasuk yang harus memiliki standar kompetensi profesi. Oleh Dewan Pers hal tersebut diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2010 tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan (SKW).

Untuk apa SKW itu diadakan? Setidaknya ada enam tujuan SKW. Pertama, meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan; Kedua, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan; Ketiga, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik; Keempat, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi penghasil karya intelektual; Kelima, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan; Keenam, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Dari tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa produk jurnalistik adalah karya intelektual. Sehingga proses mulai dari menggali informasi sampai menyiarkan dalam bentuk berita harus selalu melalui kerja serius, berdasarkan fakta, dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga kalaupun ada yang menggugat, penyelesaiannya secara intelektual pula.

Bagaimana caranya untuk mendapatkan sertifikat kompetensi wartawan. Dewan Pers sudah mengatur proses dan prosedurnya, yakni dengan melaksanakan uji kompetensi wartawan (UKW) atau uji kompetensi jurnalis. UKW harus diikuti oleh seluruh wartawan. UKW bertujuan mengukur apakah seseorang yang bekerja sebagai wartawan, dengan beberapa ukuran yang dibuat, sudah pantas disebut sebagai profesional. Terdapat tiga tingkatan untuk sertifikasi kompetensi wartawan, yakni tingkatan muda, madya, atau utama. 

Wartawan profesional juga diharuskan memiliki perencanaan, apakah dalam meliput suatu acara (untuk tingkatan muda), atau membuat liputan investigasi atau indepth news reporting (untuk tingkatan madya), serta kemampuan mengelola media dan pemberitaan secara menyeluruh (untuk tingkatan utama). Ada banyak hal bersifat teknis yang sangat vital dimiliki wartawan profesional sebelum wartawan tersebut berhak mendapatkan sertifikat kompetensi.

Berdasarkan rumusan Dewan Pers, tiga komponen kompetensi yang harus dimiliki oleh wartawan adalah: Pertama, kesadaran (awareness), yakni jurnalis menyadari setiap tindakan jurnalistiknya akan dipengaruhi oleh etika, karir, hukum, dan norma-norma. Wartawan bukan orang bebas yang bisa berbuat seenaknya. Kedua, pengetahuan (knowledge), yakni wartawan mesti memiliki pengetahuan yang baik. Wartawan juga seorang ilmuwan yang mesti cukup atas pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan. Pastinya, wartawan harus tahu bagaimana teori dan prinsip jurnalistik. Ketiga, keterampilan (skill). Wartawan harus mempunyai keterampilan yang meliputi keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menganalisis arah pemberitaan. Disamping itu seorang wartawan harus dapat mengoperasikan perangkat-perangkat teknis seperti kamera, komputer, internet, dan lain sebagainya.

Pembahasan kita diatas ternyata banyak yang tidak diketahui oleh seorang wartawan. Bisa jadi, karena tidak banyak wartawan yang mau memperkaya pengetahuan mereka tentang dunia jurnalistik. Tidak hanya yang junior tetapi juga sebagian yang senior. Harap maklum, mungkin karena mereka sibuk dengan pekerjaan sehari-hari sehingga abai tentang detil hal penting seputar dunia kewartawanan.

Namun sekarang, dengan adanya UKW maka setiap wartawan mesti membaca lebih banyak tentang dunia kewartawan. Sebab, materi-materi dasar di atas akan dites oleh para penguji UKW. Bagi yang mau membaca pasti dapat menjawab, namun bagi yang malas membaca dijamin bakal gagal dalam ujian. Belum lagi ada mata uji baru yang ditetapkan oleh Dewan Pers, yakni memahami tentang penulisan berita tentang masalah anak atau yang dikenal dengan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA).

Data dari Dewan Pers jumlah wartawan Indonesia yang sudah dinyatakan kompeten lebih dari 17.000 orang. Jumlah ini termasuk kecil dibandingkan jumlah wartawan secara keseluruhan yang mencapai 200.000 orang. Perlu penggesaan jumlah pelaksanaan uji kompetensi oleh setiap lembaga yang bertugas melaksanakan uji kompetensi wartawan. Apalagi saat ini Dewan Pers sudah bekerjasama dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan institusi negara lainnya untuk bekerjasama pemberitaan dengan wartawan yang sudah kompeten.

Meskipun demikian ternyata masih ada wartawan yang menolak UKW. Mereka berdalih bahwa pelaksanaan UKW hanya cara Dewan Pers untuk mempersulit kebebasan wartawan dalam meliput berita. Tidak hanya tidak mau ikut UKW, segelintir wartawan tersebut menolak UKW yang ditetapkan oleh Dewan Pers.

Ada apa? 

Sebelum kita bahas lebih lanjut hal tersebut, mari kita pahami dulu tentang pengertian pers. Pers adalah lembaga atau badan usaha yang melakukan memproduksi informasi melalui kerja-kerja jurnalistik melalui saluran media massa untuk disiarkan kepada masyarakat. Semua yang melakukan kerja-kerja jurnalistik secara tersebut tersebut disebut wartawan. Ini adalah definsi baku kita sebagaimana yang termaktub pada UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1. Di dalam pasal tersebut ditegaskan, dalam rangka menjunjung profesionalisme maka setiap mereka yang melakukan kerja-kerja jurnalistik tersebut mesti taat terhadap Kode Etik Jurnalistik.

Dari pengertian pers di atas, kita bisa menegaskan bahwa pers adalah lembaga formal yang pembentukannya mengikut UU dan aturan hukum terkait. Ini untuk membedakan perusahaan pers dengan perusahaan stensilan, membedakan pula dengan kelompok propaganda yang bekerja berdasarkan kepentingan ataupun partisan. Web blogspot, akun media sosial dan juga tabloid yang terbit musiman bukanlah kelompok pers.

Wartawan pun begitu pula. Wartawan adalah mereka yang melakukan kerja-kerja jurnalistik, yakni mencari segala informasi, memperoleh, menyimpan mengolah, menyampaikannya kepada masyarakat. Wartawan adalah anggota keredaksian di sebuah perusahaan pers yang selalu ditandai dengan kartu pers. Wartawan meliputi semua posisi redaksi, mulai dari pemimpin umum sampai ke reporter. Artinya apa, bahwa yang bukan bagian dari keredaksian bukanlah wartawan. Meskipun ia kerap menulis di media massa. Meskipun dia sering menyampaikan informasi penting yang menjadi berita di media tersebut. Kerja seorang wartawan adalah bagian dari kolektivitas kerja-kerja redaksi, di mana dalam pertanggungjawaban hukum saat ada sengketa pers pihak yang pertama sekali bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi, bukan wartawan yang menulis beritanya. Oleh sebab itu istilah jurnalisme warga, atau warga biasa yang melaporkan informasi ke media massa bukanlah ranah pers.

Kemudian, untuk mengatur tata laksana aturan pers Indonesia dibentuk sebuah lembaga nasional yang bernama Dewan Pers. Dewan Pers adalah representasi masyarakat Pers Indonesia yang diisi oleh tokoh-tokoh pers yang mewakili wartawan dan pengusaha perusahaan pers. Setiap unsur diisi oleh tiga orang, ditambah tiga orang lagi dari unsur masyarakat. Sehingga terbentuklah susunan anggota Dewan Pers yang mewakili tiga unsur, wartawan (dipilih oleh organisasi wartawan), pimpinan perusahaan pers (dipilih oleh organisasi perusahaan pers) dan tokoh masyarakat yang memiliki keahlian di bidan pers dan komunikasi. Tugas utama mereka adalah mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Keberadaan Dewan Pers ini diatur oleh Pasal 15 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pembentukan Dewan Pers pertama kali dilakukan pada tahun 1966 melalui UU Nomor 11 Tentang Ketentuan Pokok Pers sebagai pemberi masukan kepada pemerintah dan memiliki hubungan secara struktural dengan Departemen Penerangan. Namun sekarang Dewan Pers sudah punya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, dan merupakan lembaga independen yang tidak bisa diintervensi pemerintah.

Ketika kita sependapat bahwa wartawan adalah sebuah profesi, maka pastinya kita sepakat tentang perlunya profesionalisme wartawan. Profesionalisme sikap yang tepat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar dan juga komitmen dari setiap wartawan sebagai sebuah profesi yang bertanggung jawab terhadap minimal tiga hal, yakni bertanggung jawab kepada publik, kepada regulasi dan aturan hukum yang berlaku, dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Berbicara profesionalisme maka kita akan berbicara tentang kompetensi. Kompetensi adalah pembeda sebuah profesi dengan pekerjaan yang lain. Untuk melihat kompetensi atau tidaknya seorang wartawan maka kita harus melihat kemampuan teknik dan etik setiap mereka. Kemampuan teknik adalah kecakapan mewawancarai narasumber, menulis berita mengatur keredaksian, dan seterusnya. Sedangkan kemampuan etik adalah sejauhmana kita tahu dan menjalankan kode etik jurnalistik dalam aktivitas sehari-hari.

Ketika kompetensi adalah keniscayaan dari profesionalisme, maka setiap wartawan haruslah memiliki kompetensi. Masalahnya selanjutnya, bagaimana mengukur kompetensi seorang wartawan. Lazimnya profesi lain, maka ada alat ukur yang dipakai, yakni uji kompetensi wartawan atau uji kompetensi jurnalis. Oleh Dewan Pers disebutkan, lembaga yang dapat melaksanakan uji kompetensi wartawan adalah organisasi wartawan/perusahaan pers, lembaga pendidikan kewartawanan, dan perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi/jurnalistik. Seluruh lembaga diatas harus yang sudah tercatat di Dewan Pers karena haruslah memenuhi kriteria Dewan Pers. 

Terdapat 30 lembaga uji yang tercatat di Dewan Pers --yang terdiri dari organisasi profesi, lembaga pendidikan, perguruan tinggi, dan media massa-- yang berhak melaksanakan UKW. Antara lain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), PT Kompas Media Nusantara (Kompas Group), Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, LPP Radio Republik Indonesia (RRI), PT Pikiran Rakyat Bandung (Pikiran Rakyat), Departemen Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Indonesia (UI), Prodi Ilmu Komunikasi Jurnalitik UPN Veteran Yogyakarta, dan Perwarta Foto Indonesia (PFI). 

Apalagi? Baik dalam tulisan ini kita sampaikan semuanya. Selanjutnya ada PT Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat (Kedaulatan Rakyat), PT Aksara Solopos (Solopos), PT Suara Nusa Mataram, PT Penerbit Harian Waspada (Waspada), PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV), PT Citra Media Nusa Purnama (Media Indonesia), PT Media Fajar (Fajar), PT Bina Media Tenggara (The Jakarta Post), PT Bali Post (Bali Post), PT Media Nusantara Citra (MNC Group), PT Genta Singgalam Press (Singgalang), PT Wahana Ekonomi Semesta (Rakyat Merdeka), PT Jurnalindo Aksara Grafika (Bisnis Indonesia), PT Tempo Inti Media (Tempo Group). 

Kemudian ada juga lembaga uji dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Program Studi Ilmu Komunikasi Lembaga Pendidikan London School Public Relation, Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Dr Moestopo Beragama, Lembaga UKW Univesitas Dr Soetomo (Unitomo), dan Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Dengan sebanyak itu lembaga uji yang tersedia, dan betapa pentingnya UKW itu dilaksanakan, kenapa masih ada kelompok wartawan yang tetap menolak pelaksanaan UKW? Ada apa? Apakah para wartawan itu benar-benar profesional karena tidak mau kerjanya diukur oleh lembaga lain selain medianya sendiri. Atau jangan-jangan mereka ini adalah orang yang bukan kesehariannya berprofesi sebagai wartawan, atau bahkan wartawan hanya sebagai kedok belaka. Untuk kategori terakhir kita menyebutnya sebagai wartawan abal-abal atau wartawan gadungan.

Saya sih lebih melihat faktor yang terakhir. Mereka sedang terganggu dengan sistem kompetensi wartawan dan penerapannya di lapangan. Ya, bagaimana mau lulus uji kompetensi wartawan jika mereka sendiri bukanlah seorang wartawan. Tak tahu apa-apa tentang profesionalitas kewartawan. Hanya memanfaatkan status wartawan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. ***

H Eka Putra ST MSc, adalah seorang wartawan sekaligus penguji kompetensi wartawan (PWI), dan dosen komunikasi di Universitas Muhammadiyah Riau.