Ditetapkan Tersangka Perambahan Hutan secara Ilegal, PT Hutahaean Hormati Proses Hukum


Kamis, 27 Juli 2017 - 10:50:39 WIB
Ditetapkan Tersangka Perambahan Hutan secara Ilegal, PT Hutahaean Hormati Proses Hukum
PEKANBARU, Riauin.com - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah (Polda) Riau menetapkan PT Hutahaean sebagai tersangka perambahan hutan. Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) itu diduga menggarap lahan di luar izin Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan.

Penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik Ditreskrimsus Polda Riau menemukan adanya pelanggaran izin pengelolaan lahan. Kegiatan perkebunan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI serta tanpa izin pemerintahan setempat.

Hutan yang dirambah terletak di Afdeling 8 dengan luas 835 hektare yang terletak di Dalu-dalu.  "Ditetapkan sebagai tersangka korporasi. Sementara untuk tersangka perorangan belum ada," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Riau, Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo SIK, di Pekanbaru, Rabu (26/7/2017).

Menurut Guntur, penyidik saat ini melakukan pendalaman penyidikan untuk mengetahui orang yang paling bertanggung jawab di perusahaan itu. Ahli perkebun didatangkan ke lahan yang digarap perusahaan. "Penyidik bersama ahli tanah, lingkungan, planologi, dan kehutanan, turun ke lapangan hari ini (kemarin)," katanya.

Wakir Direktur Reskrimum Polda Riau, Ajun Komisaris Besar Polisi Edi Fariadi menyebutkan, perbuatan PT Hutahaean melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Perusakan Hutan, dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.

Untuk diketahui, kasus ini berawal dari laporan terhadap 33 perusahaan oleh Koalisi Rakyat Riau (KKR) ke Polda Riau pada 16 Januari 2017. Perusahaan itu diduga menggarap lahan tanpa izin dan tak sesuai aturan.

Dalam laporannya, KRR merincikan seluas 103.230 hektare kawasan hutan dan 203.997 hektare lahan di luar HGU, diduga digarap oleh 33 perusahaan itu. Atas pelanggaran ini, KRR menaksir kerugian negara senilai Rp2,5 triliun.

PT Hutahaean disebutkan mengantongi HGU perkebunan kelapa sawit seluas 4.584 hektare. Namun, dalam praktiknya, perusahan itu malah menggarap seluas 5.366 hektare. Kelebihan ratusan hektare itu, diduga tanpa sesuai aturan yang berlaku hingga negara dirugikan Rp2,5 triliun.

Vice President Corporate Services PT Hutahaean Group, Ian Machyar didampingi dan Staf Direksi KH S Sianturi saat dikonfirmasi wartawan, mengatakan menghormati proses hukum yang berjalan. "Kita hormati dan akan ikuti proses hukum," kata Ian.

Ia menjelaskan kembali posisi PT Hutahaean terhadap penggarapan lahan yang diduga melanggar. "Izin lokasi PT Hutahaean seluas 4800 hektare memiliki izin Nomor: 506/XI/1987 tanggal 27 November 1987, bukan 5.366 hektare. HGU PT Hutahaean 4.614,34 hektare dengan sertifikat HGU Nomor 136 tanggal 22 Mei 1999 bukan 4.584 hektare," katanya.

Dipaparkannya, luasan pada HGU yang dimiliki, ditanami kelapa sawit 4.446,5 hektare, sementara seluas 167,84 hektare untuk sarana dan prasarana. Tahun 1999 tepatnya 16 Agustus diadakan perjanjian kerjasama antara PT Hutahaean dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Setia Baru sebagai wadah organisasi masyarakat Tambusai Timur, Rohul.

Di tengah perjalanan pembangunan lahan KKPA ini   mendapatkan gangguan dari beberapa orang masyarakat. "Bahkan sesudah melakukan LC/bloking seluas 1028 hektare dan membangun jalan dan parit serta menanam kelapa sawit seluas 801 hektare, PT Hutahaean dilarang untuk melanjutkan pembangunan oleh sekelompok orang yang menurut pengakuan mereka adalah karyawan PT Torganda," kata Sianturi.

Dijelaskannya, dari luas 1028 hektare tersebut yang dapat dikuasai Hutahaean hanya 786 hektare. "Sisanya semuanya diokupasi oleh PT Torganda. Akibat okupasi di atas Hutahaean mengalami kerugian besar," paparnya.

Gangguan dan larangan tersebut, sebenarnya sudah dilaporkan baik lisan maupun tulisan kepada pengurus KUD Setia Baru ke tingkat kabupaten bahkan dibahas dalam rapat DPRD Rohul dan Riau. "Laporan tertulis mengenai gangguan yang dialami PT Huathaean tidak pernah direspons dan tak ada penyelesaian," katanya.

Perusahaan ini pernah juga mengikuti hearing di Komisi II DPRD Rohul. Perusahan menyatakan kalau lahan sudah diperoleh seluas 2.380 hektare, maka akta notaris akan dilakukan perbaikan semula dari 65 persen 35 persen menjadi 80 persen-20 persen. "KUD Setia Baru memberikan kuasa kepada Hutahaean untuk mengurus kembali lahan 2.380 hektare berdasarkan akta notaris," ucapnya.

Sianturi kemudian mempertanyakan kenapa KUD Setia Baru tidak pernah melarang adanya aktivitas okupasi oleh pihak yang mengatasnamakan PT Torganda padahal sudah dilaporkan berulangkali. "Kenapa PT Torganda berani menguasai lahan yang sudah diperjanjikan tanpa ada izin dari pemilik lahan," ucapnya.(hrc)