Anton Medan Meninggal Dunia, Sudah Siapkan Liang Lahat Sejak 2002


Selasa, 16 Maret 2021 - 07:58:59 WIB
Anton Medan Meninggal Dunia, Sudah Siapkan Liang Lahat Sejak 2002 Anton Medan

RIAUIN.COM - Tokoh Tionghoa muslim yang kini menjadi pendakwah Ramdhan Effendi alias Anton Medan meninggal dunia, Senin (15/3/2021). Anton meninggal dunia di kediamannya di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat dalam usia 63 tahun.

Anton Medan lahir dengan nama Tan Hok Liang, setelah masuk Islam dia mengubah namanya menjadi Muhammad Ramdhan Efendi. Dia menjadi Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sejak 2012.

Selama menjalani aktivitas dakwah, dia mendirikan rumah ibadah yang diberi nama Masjid Jami' Tan Hok Liang. Masjid itu terletak di areal Pondok Pesantren At-Ta'ibin, Pondok Rajeg, Cibinong.

Pria kelahiran 10 Oktober 1957 lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, ini sempat terlibat dengan dunia perjudian dan perampokan. Setelah ditangkap, Anton pun insyaf. Ia memeluk agama Islam pada 1992. Sebelumnya Anton merupakan penganut agama Buddha, lalu beralih ke Kristen dan akhirnya Islam.

Pada 2012, ia didapuk menjadi Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Anton lantas mendirikan rumah ibadah yang diberi nama Masjid Jami' Tan Hok Liang yang terletak di areal Pondok Pesantren At-Ta'ibin, Pondok Rajeg, Cibinong.

Kambing Hitam Kerusuhan 1998

Sebelum masuk Islam, Anton dibesarkan di tengah-tengah politik gelap Indonesia selama masa pemerintahan Orde Baru Soeharto. Saat itu, preman digunakan dalam politik, bisnis dan instansi pemerintah.

Nama Anton erat kaitannya dengan dunia kriminal. Bahkan, sosoknya sempat dikenal sebagai preman kelas kakap yang paling ditakuti di era Presiden Soeharto.

Pada 1998, Anton Medan dijadikan kambing hitam untuk orkestrasi Kerusuhan Jakarta setelah tuduhan itu diam-diam dicabut. Kerusuhan itu awalnya merupakan demonstrasi mahasiswa untuk memprotes presiden Indonesia Soeharto, lalu berubah menjadi demonstrasi anti-Tionghoa di Ibu Kota Jakarta.

Anton Medan memang keturunan Tionghoa, namun dia turut turun ke jalan dan ikut kerusuhan. Hal itu untuk membuktikan kesetiaannya kepada rakyat, tetapi dia sendiri yang jadi sasaran.

Dalam penyidikan kasus kerusuhan 1998, Anton Medan membantah tuduhan terlibat aktif di balik layar kendati berada di tengah-tengah massa. Namun, dia menolak untuk bersaksi kecuali Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merehabilitasi namanya terlebih dahulu.

Mengutip dari Kompas.com, sepanjang hidupnya, Anton mengaku sudah 14 kali keluar masuk penjara. Ia telah merasakan hidup dari balik jeruji besi sejak ia masih belia.

Ia mulai merasakan kehidupan di penjara saat usia 12 tahun karena kasus pembunuhan.

"Saya membunuh karena kepepet, barang-barang saya dirampas. Akhirnya saya nekat membunuh," ujar Anton pada 2013 lalu.

Anton mengungkapkan, dirinya sempat merasakan pahitnya hidup di balik penjara. Salah satunya, saat kerusuhan 1998, Anton ikut dituduh membakar rumah salah seorang pengusaha hingga ia dipenjara.

Sudah Siapkan Liang Lahat

Sebelumnya diketahui, Anton Medan ternyata sudah menyiapkan liang lahat untuk dirinya jika kelak meninggal. Liang lahat yang disiapkan Anton berada di Pondok Pesantren At-Taibin di Kampung Bulak Rata RT 2/8, Kelurahan Pondok Rajeg, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.

Ponpes itu akan menjadi tempat peristirahatan terakhir pria yang kini menginjak usia 65 tahun.

Sejak dulu ia bercita-cita membangun sebuah pondok pesantren bagi mualaf Tionghoa dan mantan narapidana yang ingin belajar agama.

Pada 2002 cita-citanya terwujud membangun sebuah pondok pesantren. Saat itu yang pertama kali dibangun oleh Anton yakni kuburan.

"Yang dibangun pertama Bapak (Anton Medan) kuburannya dulu, terus dilanjutin ngebangun pondok pesantren," kata Deni Chunk (41), pengurus Pondok Pesantren At-Taibin.

Lokasi yang nantinya menjadi tempat pemakanam Anton berada tepat di sebalah kanan Masjid Tan Kok Liong yang di desain dengan gaya bangunan Tionghoa.

Kuburan itu memiliki kedalaman sekitar 160 sentimeter dan panjang 2 meter yang saat ini dijadikan pendopo bagi tamu yang berkunjung ke pondok pesantren tersebut.

"Tadinya enggak ditutup meja, tapi takutnya bahaya akhirnya ditutup jadi lebih terlihat rapih," sambung Deni.

Selain pondok pesantren di lokasi tersebut yayasan mendirikan sekolah dengan sistem asrama. Dahulu yang tinggal di asrama sampai 500 orang.

Berdirinya Pondok Pesantren At-Taibin bermula ketika Anton Medan ingin menysiarkan Islam dengan membangun pesantren pada 2002 lalu.

"Cita-cita bapak ingin bangun pesantren untuk mualaf Tionghoa, makannya didirikan pondok pesantren ini. Pembangunan sekitar dua tahun, baru mulai beroperasi pada 2004," kata Deni.

Sekolah yang di dalamnya juga terdapat pondok pesantren bagi mantan narapidana dan mualaf Tionghoa ini berdiri di atas lahan seluas 1,6 hektare.

Saat ini yayasan sudah tidak aktif lagi sejak beberapa tahun lalu. Yang masih tersisa hanya pondok pesantren bagi eks narapidana serta mualaf Tionghoa yang ingin belajar ilmu agama.

Setiap bulan ada saja eks narapidana yang datang untuk mondok di sini. Menjelang Ramadan para santri sudah banyak pulang ke kampung halaman masing-masing untuk ibadah puasa bersama keluarga.

"Emang enggak banyak, kalau bulan puasanya biasanya pada pulang," tukas dia.

Menurut Deni, santri mantan narapidana itu selain dibekali ilmu agama juga diajarkan berwirausaha selama berada di pondokan.

Seperti belajar mengelas, beternak hingga menjahit agar setelah mereka keluar sudah punya bekal keahlian untuk melanjutkan hidupnya dan tidak kembali terjerumus dalam dunia hitam.

"Mereka diajarin baca Alquran dan salat. Ada juga alumni yang sekarang sudah bisa membuka pondok pesantren sendiri di kampungnya," kata lelaki yang juga guru di ponpes tersebut.

Ada yang mencolok dari arsitektur bangunan di pondok pesantren Anton. Hampir semua artsitekturnya mendapat sentuhan khas Tiongkok.

Gaya khas bangunan Masjid Hok Tek Liong ini sengaja mengambil gaya bangunan Tiongkok sebagai ciri khas Anton yang memang keturunan Tionghoa. - gha