“SORE nanti, pimpong kita, bang? Demikian bunyi pesan Haidir Tanjung yang masuk ke jaringan pribadi WA-ku, pada Rabu (18/11/2020), pukul 08.39 pagi.
“Makjang.. pagi2 udah diinfo.. Hehe baiklah,” jawabku hampir sejam setelah pesan itu masuk.
Tiga menit kemudian, pesannya kembali masuk. Namun, Haidir tidak menjawab sapaanku dengan kata-kata. Ia hanya memberi ikon senyum.
Dalam sebulan terakhir ini, Haidir memang giat menggerakkan olahraga pingpong di kalangan sahabat-sahabatnya. Entah siapa yang menunjukkan kepada dia terdapat sebuah meja pingpong menganggur di kantor Diskominfo, Riau. Hampir setiap sore, ia memberi informasi agar sahabat-sahabatnya segera merapat ke meja pingpong Diskominfo yang diletakkan di pelataran kantin belakang Kantor Gubernur Riau itu.
Hari Rabu siang, dua jam sebelum janji pingpong, aku melihat postingan foto Haidir di grup WA Bocah Nusantara (yang aku dan Haidir sebagai adminnya) berada di tengah tumpukan kayu sitaan Tim Gakkum Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau. Aku langsung bertanya dalam hati, apakah ia lupa akan janji pingpongnya.
Pukul 15.30, aku menulis pesan kepadanya. “ Jadi Dir... mimpongnya?
“Oke.. otw dari teratak buluh ke TKP pingpong,” jawabnya.
Pukul 16.10, aku sampai di Kantor Gubernur Riau. Di tempat parkir, kulihat mobil Haidir sudah ada di tempat biasa. Aku langsung menuju ruangan King, sebutan akrab Raja Hendra (sahabat kami, salah satu Kabid di Diskominfo) Benar saja, di ruangan itu terlihat Haidir sedang berbincang dengan King. Tidak lama di ruangan itu, kami pun bersiap bermain pingpong. King tidak bisa ikut, karena harus menemani istrinya ke rumah sakit.
Sebelum berangkat ke kantor gubernur tadi, aku sempat menghubungi Usman, juru bicara PLN Riau dan Rozita dari Dinas Kesehatan Riau, sahabat kami yang biasa disapa Kak Roz, untuk bergabung dalam acara pingpong. Usman menyatakan akan segera meluncur, namun janji itu tidak ditepati. Sedangkan kak Roz tidak bisa ikut, karena sedang berada di Kepulauan Meranti. Alhasil hanya aku dan Haidir yang bermain pingpong sore itu.
Hari itu, Haidir menunjukkan permainan yang agak berbeda dari beberapa hari sebelumnya. Ternyata, katanya, gaya permainan itu diperolehnya dari melihat Youtube untuk melatih servis dan gerakan smes. Bukan itu saja, ia pun membeli sebuah bet pingpong standar. Aku geer, bahwa motivasinya belajar di Youtube, salah satunya adalah untuk mengalahkan permainanku.
Hanya sekitar 10 menit bermain, aku meminta time out, alias berhenti sejenak karena capek mengutip bola smes gagal yang menggelinding jauh dari areal meja. Ia pun setuju, karena ia juga merasa lelah.
“Kok aku merasa capek sekali ya bang? Apakah ini tanda-tanda faktor U?” .
Aku hanya tersenyum. “ Mungkin kau capek dari Teratak Buluh tadi. Atau karena lawanmu aku, jadi agak berat. Kalau kau melawan Usman mungkin gak capek,” ujarku bercanda.
Kami pun beristirahat dengan memainkan gawai masing-masing. Aku menyempatkan diri mengambil fotonya, dan mengirimkan ke grup WA Bocah Nusantara dengan kutipan” Meja nganggur, lagi nyari lawan tangguh.
Sekitar 15 menit, Haidir berdiri dan mengambil bet kembali. Buatku, itu merupakan sinyal ia ingin melanjutkan permainan. Akupun berdiri dan berjalan ke arah meja. Kami melanjutkan permainan lagi. Paling hanya bermain 15 menit, kami berhenti lagi. Aku merasa capek dan ia mengeluh sangat lelah. Aku tidak merasa curiga atas keluhannya, karena masih menyangka ia capek karena aktivitas sebelumnya di lokasi sawmill liar, Teratak Buluh.
Dalam hati, sempat tebersit pikiran, apa mungkin Haidir merasa lelah karena aktivitas fisik berlebihan yang mengganggu fungsi jantung, seperti kisah artis Adjie Massaid atau Ashraf Sinclair?. Namun pikiran itu langsung aku singkirkan, karena ia tidak mengeluhkan sesak dada atau keluhan lainnya.
(Belakangan, pada hari jenazahnya disemayamkan, Aidil (pegawai Diskominfo) memberitahuku, bahwa Haidir sempat mengeluhkan sesak dan nyeri di dada saat keluar kamar mandi setelah bermain pingpong di Diskominfo Rabu petang itu. Namun ia tidak menceritakan sesak dan nyeri dada itu kepadaku. Kalau saja waktu itu dia menceritakannya... ah, sudahlah).
Tidak lama kemudian, Usman datang dengan senyuman khasnya. Namun hari sudah gelap dan kami pun sudah tidak ingin bermain lagi. Haidir kemudian mandi dan shalat magrib di kantor Diskominfo.
Usman mengajak makan sop dan sate di warung langganan kami di Jalan Sumatera. Aku, Haidir, Usman dan Aidil segera berangkat. Tiga orang itu memesan sop, sedangkan aku memilih sate. Aku masih sempat melihat Haidir mengambil 3 potongan daging berukuran kecil untuk sop-nya.
Di meja makan, Usman bertanya “Kok abang hanya memesan sate, tidak sop”?
Aku lalu menunjuk kuah sop di depan Haidir yang mengandung santan. “Kolesterol (daging) dengan santan lebih besar, daripada kolesterol sate,” jawabku sekenanya.
“Iya, santan kalau dimasak memang lebih berbahaya daripada santan mentah yang biasa dipakai untuk campuran es,” Haidir nimbrung
Malam itu Haidir tetap memilih sop (dengan santan), karena ia sedang kepingin. Sebenarnya, sangat jarang ia memesan sop dan lebih sering menjauhi makanan jenis daging-dagingan.
Percakapan tentang kolesterol makanan berhenti saat kami makan. Setelah santapan selesai, Haidir lebih banyak mendominasi percakapan. Ia memaparkan rencana launching bukunya di Jakarta bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Ia menunjukkan beberapa nama pembahas dan undangan yang akan menghadiri acaranya di Jakarta.
Sebagai editor bukunya "Bonita", aku juga diajak Haidir ke Jakarta. Bu Menteri Siti, katanya, menyampaikan pesan agar aku ikut berangkat. Namun saat pandemi ini, aku memang bersikukuh tidak ingin meninggalkan Riau. Apalagi kantorku pun membuat aturan cukup ketat terkait keberangkatan wartawannya ke luar domisilinya. Sekitar pukul 20.15 kami bubar, pulang ke rumah masing-masing.
Kamis pagi, seorang sahabat dari Pangkalan Kerinci menelpon, mengajak bertemu aku dan Haidir sembari makan siang. Aku menyetujui rencana makan siang itu, namun Haidir mengatakan tidak bisa, karena ia sedang berpuasa. Meski demikian, setelah acara makan selesai, ia berjanji bergabung dengan kami. Tetapi, ia membatalkan rencana dan tidak bisa ikut serta.
Kamis malam itu, aku tidur cepat. Pada pukul 19.00 aku sudah terlelap, karena sebelumnya meminum obat antialergi yang mengandung unsur obat tidur. Obat itu untuk meredakan alergi pada lenganku akibat menyentuh ulat bulu yang ternyata membawa dampak kulit memerah, bentol-bentol dan menimbulkan rasa gatal.
Pukul 04.00 pagi, aku sudah terbangun seperti biasa. Agenda pertama adalah membuka telepon genggam dan gawai. Di HP tertera banyak miscall dari Ari Nadem (wartawan TV One) dan Sany Abdullah (wartawan Merdeka.com). Namun tidak ada pesan sms dari mereka. “Ada apa ya,” pikirku.” Kok Ari dan Sany banyak miscall?”
Aku langsung membuka pesan di grup WA. Ternyata, disana sudah banyak sekali pesan terkait Haidir. Dari mulai informasi tentang Haidir masuk ke rumah sakit, sampai kemudian pesan yang menyatakan ia meninggal dunia karena serangan jantung. Aku terhenyak dan terdiam tanpa berbuat apa-apa selama beberapa menit.
Berulang kali hati dan pikiran menolak, “ Ah, pesan itu tidak dapat dipercaya,”. Namun akhirnya logika juga yang berbicara dan mulai menerima kenyataan.
Jumat pagi, aku sudah tiba di rumah duka. Sudah banyak orang berkumpul, namun belum terlalu ramai. Aku langsung masuk ke dalam rumah dan bersujud di depan jenazah Haidir yang sudah terbaring kaku.
Kubuka kain penutup wajahnya. Kupegang pipinya dan dahinya yang sudah dingin. Air mataku bercucuran. Ditambah lagi ucapan Elis, istri Haidir yang memberi informasi bahwa sebelum dibawa ke rumah sakit, Haidir sempat menelpon aku, namun tidak diangkat.
“Dia menelpon abang untuk memberi tahu dia sakit, bang..,” kata Elis tersedu.
Air mataku mengalir semakin deras. Bahkan ketika menulis obituari inipun, air mataku masih terus menetes.
Saat aku keluar rumah itu, langsung kubuka gawai. Dan benar, ada dua panggilan miscall dari Haidir yang tidak kuangkat. Yang satu pukul 20.24 dan 20.25. Itulah saat-saat Haidir akan dibawa ke rumah sakit. (Maafkan aku Dir...)
Haidir memang sangat dekat denganku. Ia sudah kuanggap adik dan ia pun menganggap aku sebagai abangnya. Semenjak aku dipindahtugaskan dari Jakarta ke Pekanbaru tahun 2007, ia sudah dekat denganku. Awalnya kami lebih sering berkumpul bersama dua teman lainnya, yaitu Jupernalis Samosir (wartawan Tempo) dan Yusril Ardanis (wartawan SCTV). Namun kemudian Jupernalis meninggal dunia pada Juni 2013, dan Yusril memiliki kegiatan di luar jurnalistik sehingga praktis hanya aku dan Haidir yang sering berkumpul. Banyak narasumber menyatakan kami duet wartawan nasional yang tidak pernah lepas.
Belakangan, muncul Ari Nadem dan Sany Abdullah yang jauh lebih muda dari kami mengisi kekosongan Jupernalis dan Yusril. Dua orang inilah yang menemani Haidir di rumah sakit, sampai ia menghabiskan napas terakhirnya di rumah sakit.
Jumat malam, sehabis melepas Haidir ke peristirahatan terakhirnya, pikiranku melayang di tempat tidur. Aku nelangsa. Acapkali masih muncul rasa tidak percaya ia sudah tiada. Aku membayangkan wajah dua putranya Hapiz dan Fikih yang sangat kompak dan ceria. Haidir sangat sayang anaknya itu, dan lebih sering memanggil keduanya dengan sebutan “amang”, panggilan sayang bapak kepada anaknya dalam bahasa Batak.
Sedikit kegembiraan muncul dari informasi yang kudengar dari seorang teman, bahwa Menteri Siti berjanji akan memberi beasiswa kepada kedua putra Haidir itu. Semoga saja informasi itu benar adanya, agar Haidir tenang dalam tidur panjangnya. Selamat Jalan Adikku. Tidurlah dalam damai. Semoga Allah memberi tempat terbaik buatmu disisi-Nya.
Penulis: Syahnan Rangkuti.
Wartawan Kampas Liputan Riau.