Klaim Kemenangannya Dicuri, Donald Trump Gugat Hasil Pilpres AS, Ini Kata Pengamat


Selasa, 10 November 2020 - 07:00:49 WIB
Klaim Kemenangannya Dicuri, Donald Trump Gugat Hasil Pilpres AS, Ini Kata Pengamat Donald Trump

RIAUIN.COM - Tetap mengklaim menang. Bahkan melayangkan gugatan karena merasa dicurangi. Pertarungan Donald Trump melawan Joe Biden dalam Pemilu Amerika Serikat 2020 memasuki babak baru.

Berdasarkan hasil penghitungan suara Pemilu AS yang dilakukan The Associated Press, hingga Senin (9/11/2020) malam, Joe Biden menang dengan suara elektoral 290, sedangkan Trump 214. Total suara yang raih Biden sebanyak 75.404.182, sementara Trump 70.903.094.

Tak jauh berbeda, Peta Hasil Pemilu AS 2020 yang dilansir VOA, juga menunjukkan kemenangan Biden atas Trump. Biden mengantongi 279 suara elektoral, dan Trump 214.

Namun, melalui akun twitternya, Donald Trump mengklaim dirinyalah pemenang Pemilu Amerika 2020. "Saya memenangkan pemilihan ini, dengan suara yang banyak."

Jauh sebelum pemungutan suara Pilpres AS digelar, Donald Trump telah menyatakan menentang hasil pemilu yang ia klaim penuh kecurangan, bila kalah. Bahkan jelang kemenangan Biden diumumkan, tim kampanye Trump telah mengajukan gugatan hukum di tiga negara bagian yang menjadi medan pertempuran sengit kedua kandidat, yakni Pennsylvania, Michigan, dan Georgia.

Trump juga menyatakan siap membawa sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Agung, dan tim kampanyenya meminta donor Republik untuk mendanai upaya hukum itu. Ketua Komite Nasional Republik Ronna McDaniel berkata, "Pertarungan belum berakhir. Kami ada di dalamnya."

Saat ini, tim kampanye Trump tengah menggalang dana dari para pendukungnya, yang menurut halaman webnya akan digunakan untuk membayar utang kampanye dan menggugat hasil pemilu ke MA. Partai Republik tengah berupaya untuk menggalang dana sedikitnya 60 juta dolar AS (sekitar Rp852,9 miliar) untuk membiayai tuntutan hukum yang diajukan Donald Trump atas hasil pemilu AS.

"Mereka menginginkan 60 juta dolar," kata seorang donatur untuk Partai Republik yang menerima permohonan dari tim kampanye Trump dan Komite Nasional Partai Republik (RNC).

Dua sumber lainnya menyebut tim kampanye Trump menginginkan dana sebesar 100 juta dolar AS (sekitar Rp1,4 triliun) untuk komite penggalangan dana bersama yang dikelola tim kampanye dan RNC--suatu tanda bahwa skala tuntutan hukum Trump mungkin akan lebih besar.

Ketiga sumber tersebut memberikan keterangan kepada Reuters tanpa ingin disebutkan identitasnya karena terkait isu yang sensitif. Tim kampanye Trump dan RNC belum memberikan komentar mereka mengenai masalah ini.

Halaman donasi yang ditautkan ke situs web Trump mendorong sumbangan ke "Satgas Pertahanan Pemilu Trump-Pence." Halaman itu berbunyi, "Presiden Trump membutuhkan ANDA untuk melangkah dan untuk memastikan kami memiliki sumber daya untuk melindungi integritas Pemilu!"

Namun, dalam cetakan kecil di bawah halaman, dikatakan bahwa 60 persen dana akan digunakan untuk "penghentian utang pemilihan umum," dan 40 persen sisanya akan digunakan untuk rekening operasional Komite Nasional Republik.

Menurut laporan Forbes, Mahkamah Agung AS saat ini sedang mempertimbangkan apakah harus membatalkan aturan batas deadline surat suara via pos di Pennsylvania. Dalam aturan itu, pengadilan di Pennsyvlania membolehkan surat suara datang hingga tiga hari usai pemilu. Meski begitu, jika suara yang datang terlambat menjadi tidak sah, maka itu belum tentu cukup untuk Trump mengalahkan Joe Biden.

Kubu Trump juga menggugat supaya suara via pos yang kurang bukti identifikasi agar tidak dihitung. Pemilih diberi kesempatan untuk memperbaikinya pada 10 hingga 12 November. Tetapi suara itu belum dihitung sehingga tak berpengaruh pada perhitungan suara yang masih mengunggulkan Joe Biden.

Saat ini Joe Biden memiliki 290 suara elektoral, dan bila ditambah Georgia akan mencapai 306. Apabila Trump bisa mengubah hasil di Georgia, Michigan, dan Wisconsin, melalui gugatannya, maka Joe Biden terancam kehilangan angka minimal 270 untuk menjadi presiden.

"Ada laporan-laporan hal yang tidak reguler di beberapa kabupaten Wisconsin yang menimbulkan keraguan serius tentang validitas hasil-hasilnya," ujar manajer kampanye Trump, Bill Stepien.

Petinggi Partai Republik yakin pertarungan Trump versus Biden akan berlanjut ke meja hijau. Salah satunya adalah Tom Spencer yang terlibat dalam sengketa antara George W. Bush dan Al Gore pada Pemilu AS 2000. George W. Bush akhirnya menang.

Tom Spencer memprediksi hakim Brett Kavanaugh, John Roberts, dan Amy Coney Banett yang diangkat Donald Trump akan berpengaruh pada sengketa ini. Tiga-tiganya sempat bekerja di kubu Bush pada sengketa pemilu AS 2000.

"Masalah besarnya adalah bagaimana Hakim Barrett akan memutuskan," ucap Spencer.

Time menyebut gugatan hukum mungkin tak akan berpengaruh jika selisih suara tidak setipis yang dikira. Jika ada ribuan suara yang dinyatakan tidak valid, itu belum tentu mengubah hasil final.

Saat ini, kemenangan Joe Biden baru berdasarkan perhitungan versi media, belum pengumuman resmi. Pakar hukum dari Ohio State University menyebut suara masih dihitung. Bisa saja selisih suara semakin melebar dan tak perlu mengulang sengketa pemilu antara George W. Bush dan Al Gore.

"Ini masih mungkin margin suara kemenangan di negara-negara bagian yang sengit akan cukup tegas sehingga tidak akan menjadi litigasi seperti Bush vs Gore," ungkap Spencer.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menilai secara keseluruhan proses Pemilu Presiden AS 2020 telah berlangsung sukses. 

"Tidak ada insiden yang terlalu merisaukan. Bahkan ini adalah pemilu tersukses di Amerika Serikat, katakanlah lebih dari 50 tahun terakhir, jika kita lihat dari partisipasi pemilihnya," kata Djayadi.

Terkait pernyataan Donald Trump yang akan menggugat hasil Pemilu AS 2020, Djayadi Hanan menyatakan upaya itu hanya akan sia-sia.

"Gugatan itu bisa berhasil kalau kandidat itu punya bukti-bukti yang memadai. Misalnya, ada tuduhan banyak pemilih (di Nevada) yang sudah meninggal namun suaranya masih ada, itu tuduhannya. Lalu ada juga para saksi dari partai Republik yang tidak diperbolehkan melakukan pemeriksaan di Pennsylvania dan sebagainya," kata dia kepada Liputan6.com.

"Tapi tuduhan dari kubu Trump itu harus dibuktikan oleh kubu mereka. Sampai kita ikuti pemberitaannya hari ini, kita melihat tidak ada bukti-bukti memadai soal itu. Sementara waktu mereka terbatas," imbuh Djayadi.

Menurutnya, gugatan yang dilayangkan Trump harus dilakukan dan selesai pada 8 Desember 2020. Setelah itu Electoral College akan bertemu menentukan siapa yang jadi presiden secara resmi. "Jadi menurut saya peluang Trump itu sangat sedikit," ucapnya.

Trump memang berupaya untuk menggugat, namun Djayadi mempertanyakan, apa yang menjadi dasar gugatan kubu Republik itu. "Misalnya kecurangan. Kecurangan yang secara struktur dan masif itu tidak ditemukan."

"Lagipula di negara bagian seperti Georgia yang sekarang Biden unggul dan mungkin menang, itukan yang menyelenggarakan orang dari Republik. Gubernurnya orang Republik, Secretary of States yang menjadi penanggung jawab pemilu juga orang Republik. Bagaimana ia menuduh orang Republik memenangkan Bidan, itu kan susah," sambungnya.

Kalaupun kubu Trump punya bukti-bukti seperti surat suara yang tidak sah, jumlahnya relatif sedikit. "Misalnya yang mereka temukan di Pennsylvania ada 53 surat suara yang dikirim melalui pos, itu tibanya jam tujuh malam waktu setempat tapi masih tetap dihitung. Itu sebenarnya tidak boleh. Namun itu jumlahnya hanya 53 surat suara. Sementara Trump tertinggal sekitar 46 ribu suara (0,7 persen)."

"Jadi gugatan dia itu sangat lemah, sangat kecil," tegas Djayadi.

Trump juga menekankan agar sejumlah negara bagian melakukan penghitungan suara ulang. Namun tiap negara bagian memiliki syarat yang  berbeda-beda.

"Umumnya, penghitungan suara antarkandidat itu kurang dari setengah persen. Jika kurang, maka bisa hitung ulang. Namun, hitung ulang pun itu jumlahnya tak bisa banyak. Kan cuma hitung ulang. Biasanya kesalahan yang terjadi seratus sampai dua ratus surat suara. Kalaupun seribu, itu juga tak mengubah apa-apa," jelas Djayadi Hanan.

"Peluang untuk hitung ulang ada di Georgia dan Arizona. Kalau di Pennsylvania tidak bisa karena aturannya mengatakan, antara kandidat itu harus kurang dari setengah persen, sedangkan di Pennsylvania itu lebih dari setengah persen. Jadi saya yakin, tetap akan Biden (pemenangnya," ia memungkasi.

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada Nur Rachmat Yuliantoro menilai kemenangan Joe Biden dari Partai Demokrat sudah aman. Ia menegaskan kegaduhan yang terjadi hanya karena Trump tak mau kalah.

"Tidak ada 'sengketa pemilu AS' antara Biden dan Trump. Yang ada adalah Trump yang mengatakan akan membawa penghitungan suara yang dia nilai tidak adil ke pengadilan," ujar Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM itu kepada Liputan6.com.

"Saya kira lebih ke dia (Donald Trump) tidak mau kalah saja," imbuhnya. 

Nur Rachmat menyorot retorika Trump yang meminta agar hitung suara dihentikan di negara bagian yang Joe Biden unggul. Tetapi, dia tak meminta hal serupa di daerah yang dia sendiri unggul. - vie