Miko Kamal,SH,LL.M.,PhD : Peran Hakim Bukan Semata Pemutus Perkara Tapi Juga 'Wajib Sebagai Pengadil'


Senin, 08 Mei 2017 - 06:14:53 WIB
Miko Kamal,SH,LL.M.,PhD : Peran Hakim Bukan Semata Pemutus Perkara Tapi Juga 'Wajib Sebagai Pengadil'
Padang, Riauin.com - Umat Islam Mulai dari Aksi 411 Sampai Aksi 55  yang selalu berdatangan dari seluruh penjuru negeri datang ke Jakarta menggelar aksi damai pada Aksi 55 ini umat berkumpul di Mesjid Istiqlal usai sholat Jumat melakukan long March ke Makamah Agung untuk menyampaikan Aspirasinya kepada Hakim yang menyidangi khasus Penistaan Agama  Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)  Mereka menyerukan keadilan dalam kasus penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI yang kalah dalam Pilkada tanggal 19 April yang lalu.

Aksi 55 ini bertujuan penyampaian pendapat  yang menyuarakan tuntutan yang sama yakni agar Ahok diberikan hukuman yang adil atau dihukum seberat-beratnya karena telah menyinggung sebagian besar umat Islam.

Menurut Miko Kamal, SH, LL.M., PhD, dosen hukum Univiversita. Bung Hatta dan dewan nasional Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia, mengatakan, majelis hakim kasus Ahok yang akan mengetokkan palu mereka pada hari Selasa tanggal 9 Mei 2017, seharusnya memperhatikan dengan saksama kewajiban hukum mereka yang termaktub di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni hakim wajib untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

"Terkait hal ini, majelis hakim harus mampu menangkap aspirasi sebagian besar umat Islam agar majelis hakim menjatuhkan hukuman yang berat terhadap Ahok sebagai deskripsi dari rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," kata Miko Kamal, Sabtu (6/5/2017) di Padang.

Umat Islam dalam penyampaian Tuntutannya tersebut, secara praktis, dapat dipahami sebagai peringatan terhadap rajut kebhinekaan yang selama ini terjalin baik di tengah-tengah bangsa kita yang majemuk.

"Bisa dibayangkan jika Ahok tidak dihukum berat karena ucapan 'Jangan mau dibohongi pakai Almaidah 51', di depan publik tersebut, di masa yang akan datang, baik rakyat biasa maupun pejabat negara bisa dengan seenaknya mengutip surat atau ayat suci pemeluk agama tertentu tanpa mempertimbangkan akibat buruk dari pernyataan atau kutipan yang dibuatnya," terangnya.

Miko mencontohkan, misalnya, seorang pejabat A beragama muslim di depan umum mengatakan 'jangan mau dibohongi pakai Injil'. Pemeluk Nasrani yang taat pasti tersinggung dengan pernyataan seperti itu. "Intinya, kalau hal seperti ini dibenarkan maka ancaman disharmoni masyarakat antar pemeluk beragama tidak sekedar isapan jempol."

Dalam paparanya Miko mengatakan ada pesan yang tersimpan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 adalah hakim-hakim di pengadilan dibebani tanggung jawab menciptakan keharmonisan antarpemeluk agama melalui kewenangan mereka miliki.

Dalam hal ini selain melihat yang tersurat (fakta-fakta) setiap hakim juga harus mempertimbangkan hal-hal yang tersirat demi kemaslahatan bangsa dalam bidang kerukunan antar umat beragama yang selama ini sudah berjalan dengan baik, dimana Pasal 156 a KUHP menjadi salah satu produk hukum yang menjaga kerukunan tersebut.

Harapnya "Semoga majelis hakim yang akan membacakan putusan minggu depan memposisikan diri mereka sebagai *'pengadil'* yang mampu menangkap rasa keadilan masyarakat, tidak hanya sebagai "pemutus" perkara," ucapnya.(heri)