Tinggalkan Medsos, Publik Cari Info Covid-19 di Media Online dan TV


Senin, 27 Juli 2020 - 10:32:19 WIB
Tinggalkan Medsos, Publik Cari Info Covid-19 di Media Online dan TV

RIAUIN.COM - Media sosial (medsos) mulai kehilangan kepercayaan dari publik terkait penyebaran informasi wabah Covid-19. Publik kembali melirik media televisi dan media online untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan akurat terkait perkembangan penyebaran virus corona.

Demikian diungkapkan pengamat media Tomy Satryatomo dalam diskusi publik daring bertajuk 'Mendamaikan Ekonomi dan Pandemi: New Normal Bukan Back to Normal', Minggu (26/7/2020) malam. 

"Masyarakat mulai mampu menyaring karena kecenderungan informasi di medsos seringkali terselip hal-hal yang bersifat hate speech dan hoaks yang sulit dipertanggungjawabkan," ujar Tomi yang menjadi salah satu narasumber diskusi yang digelar Balitbang DPP Partai Demokrat tersebut.

Selain Tomi, diskusi publik daring Proklamasi Democracy Forum (PDF) ini juga dihadiri narasumber lainnya yaitu Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Ketua Satgas Covid-19 RS Bhayangkara DIY Yogyakarta Dr Dian K Nurputra, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa, dengan moderator Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat Yan Harahap.

Tomi menambahkan, media massa resmi lebih jelas pertanggungjawabannya. Selain karena memiliki badan usaha, juga ada asosiasi dan perundang-undangan yang mengaturnya. 

"Sejak Covid-19 resmi diumumkan awal Maret 2020, media televisi dan media online menjadi yang tercepat dan paling sering diakses oleh publik," ujarnya. 

Dikatakan, ketika masa wabah ada kecenderungan media sosial kehilangan trust dari penggunanya dan pengiklannya. Sepanjang bulan Juli, korporasi besar di Amerika Serikat terutama mengatakan mereka pausing atau jeda dan tidak lagi beriklan di media sosial.

“Mereka (pengiklan) tidak happy, tidak puas dengan cara pengelola media sosial mengelola fake news, hoax, yang begitu besar,” sambungnya.

Masyarakat pernah memiliki penilaian bahwa pembicaraan di media sosial bersifat genuine dan mencerminkan diskursus yang berkembang di dunia nyata. Bahkan media sosial sempat menentukan agenda media massa.

Namun lama kelamaan, media sosial semakin kerap menjadi instrumen untuk menyebarkan kebencian dan kabar bohong. Influencer juga kerap menjadi pekerjaan untuk menyampaikan disinformasi.

“Trending topic juga tidak bisa lagi dijadikan pegangan bahwa sebuah tema benar-benar dibicarakan. Karena ada banyak akun robot yang dilibatkan,” sambungnya.

Di sisi lain, walaupun masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, namun media massa lebih bisa diandalkan karena wartawan harus berkerja mengikuti kode etik dalam proses kurasi informasi.

Belum lagi di Indonesia ada Dewan Pers yang dapat mengontrol konten yang ditayangkan media massa.

Sementara Teguh Santosa mengatakan, masyarakat umumnya memiliki rekaman yang kurang baik mengenai peran media sosial dalam beberapa event politik beberapa waktu lalu, misalnya pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, pilkada serentak 2018, dan terakhir pemilihan umum dan pemilihan presiden 2019.

“(Ketika itu) kita menyaksikan bagaimana media sosial yang tadinya menjadi harapan baru kita tiba-tiba berkecenderungan untuk menyebarkan hate speech, spinning, disinformasi dan seterusnya,” ujar Teguh.

Adapun di tengah pandemi Covid-19, kepercayaan publik kepada media online mulai bangkit di bulan Maret. Ini ditandai dengan peningkatan akses pembaca media siber yang umumnya dialami oleh media-media siberi anggota JMSI.

“Ketika kita dihadapkan pada situasi Covid-19, publik kelihatan sekali berusaha untuk mencari sumber informasi yang cepat tetapi bisa dipercaya. Pilihannya adalah media massa berbasis internet, atau media online,” pungkasnya. - nsv