Opini H ASRIL DARMA

Pemerintah Realistis, Panggilan ke Tanah Suci Itu Kehendak Allah SWT


Selasa, 02 Juni 2020 - 21:09:43 WIB
Pemerintah Realistis, Panggilan ke Tanah Suci Itu Kehendak Allah SWT H Asril Darma
HARI ini Selasa (2/6/2020), Kementerian Agama Republik Indonesia mengumumkan kepastian tidak memberangkatkan jamaah haji Indonesia tahun 2020 ke Tanah Suci. Kenyataan ini pasti disambut beragam masyarakat, apalagi bagi Calon Jamaah Haji (CJH) yang mestinya berangkat tahun ini. 

Kerinduan untuk dapat wukuf di Arafah, setelah menunggu antrean hampir 10 tahun bagi jamaah regular harus diperpanjang lagi. Menahan rindu memang berat. Apalagi bukan sebentar. Sudah hampir 10 tahun. Dan mestinya tahun ini rindu itu bisa terluahkan. Untaian do’a dan uraian mata sudah siap-siap ditumpahkan di Padang Arafah. Namun apalah daya. Takdir Allah memutuskan lain. Pandemi Covid19 yang mewabah sejak awal tahun 2020 ini belum nampak ujung akhirnya. Nyaris semua tanah bumi Allah sudah ditapakinya. Tak terkecual Tanah Suci umat muslim Mekkah dan Madinah.   

Sesungguhnya Pemerintah Indonesia sangat berat dan hati-hati mengambil keputusan ini. Namun ketika waktu keberangkatan Kloter Pertama sesuai rencana perjalanan haji 2020 sudah kian dekat yakni 26 Juni,  kepastian dari Pemerintah Arab Saudi belum ada. Maka Pemerintah Indonesia dengan segala pertimbangan yang matang mengambil keputusan lebih dulu. Tok. Perjalanan  Haji 2020 tidak dilakukan. 

"Pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jamaah haji pada 2020 atau tahun 1441 Hijriah," kata Menteri Agama RI, Fachrul Rozy, dalam jumpa pers yang disiarkan langsung melalui YouTube @Kemenag RI, Selasa (2/6/2020).

Menag menyampaikan keputusan ini diambil dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya pemerintah Arab Saudi hingga saat ini masih belum membuka akses bagi negara mana pun terkait pandemi Corona (COVID-19. "Tidak mungkin lagi memiliki cukup waktu untuk melakukan persiapan, utamanya dalam pelayanan dan perlindungan jemaah," jelas Menag.

Menag menyatakan, pemerintah telah berupaya maksimal. Namun keputusan pemerintah tidak memberangkatkan jemaah haji pada 2020 ini harus diambil meski pahit. Menag menyebut, pemerintah tidak punya cukup waktu untuk persiapan, utamanya dalam pelayanan dan perlindungan jemaah haji karena pandemi COVID-19 masih melanda Arab Saudi dan Indonesia.
Realistis.

Menurut hemat penulis, keputusan pemerintah ini sangat realistis. Dengan sisa waktu hanya sekitar 25 hari, persiapan pemberangkatan tentu tidak mudah. Lazimnya, semua persiapan itu sudah hampir selesai sebelum bulan Ramadhan setiap tahunnya. Di sisi lain, tanpa menyoal soal persiapan tersebut, pengalaman pribadi penulis saat menjadi petugas Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) Provinsi Riau tahun 2017, dalam kondisi Pandemi Covid19 saat ini sungguh sulit mengelola perjalanan haji. 

Mengacu Protokol Kesehatan Covid19, dari sisi physical distancing (jaga jarak) saja, andai pesawat menerapkan protocol Covid19, tentu berdampak pada peningkatan biaya transportasi dua kali lipat. Jumlah kloter bisa membengkak dua kali lipat. Tentu juga berdampak pada kecukupan petugas. 

Kemudan ritual perjalanan haji itu sendiri sangat berat dari sisi physical distancing. Saat ziarah Madinah, yang menjadi target jamaah adalah ibadah Arbain (sholat wajib 40 waktu di Masjid Nabawi). Kemudian ziarah makam Rasulullah dan sedapat mungkin bisa sholat di Raudah.  

Foto terakhir yang kita lihat dua hari ini, bagaimana sholat di Masjid Nabawi dengan menjaga jarak sekitar 1,5 meter. Sementara di setiap musim haji, Masjid Nabawi tumpah ruah hingga ke halaman masjid. Jangan lagi cerita tentang antrian ke Raudah. Nah, andai perjalanan haji tetap dilaksanakan, namun masuk masjid Nabawi dibatasi, ziarah ke makam Rasulullah dibatasi, tentu rasanya ada yang kurang. 
 
Lanjut dari sisi perjalanan dari Madinal ke Mekkah dengan bus, tentu juga kebtuhan bus naik dua kali lipat. Lazimnya, satu Kloter disediakan 10 unit bus (Kloter Maskapai Saudi Arabia +/- 455 jamaah), dengan protokol Covid-19 jumlah bus meningkat paling sedikit 20 unit. Penginapan hotel rata-rata 4 jamaah/kamar tentu tidak sesuai protokol Covid-19. Terus prosesi tawaf dan sa’i di Masjidi Haram, sungguh sulit dbayangkan bisa diatur menurut Protokol Covid-19 saat hampir 4 juta jamaah (mendekat puncak haji) berada di Mekkah. Rutinitas sholat lima waktu dari hotel ke Masjidil Haram yang mayoritas jamaah Indonesia mengunakan bus sholawat -lagi-lagi- jauh dari tuntutan physical distancing.
 
Saat perjalanan menuju puncak haji  dari hotel menuju Arafah (untuk Wukuf), berdasarkan pengalaman tahun 2017, jumlah bus per kloter dikurangi. Alasan Muasasah (pengelola haji lokal) karena akses ke Arafah macet. Jatah angkutan Kloter 10 unit dikurangi jadi 9 bahkan 8 unit. Walhasil, jamaah berdesakan dan sebagai berdiri di bus. Jamaah haji harus sabar. Begitu kata-kata keramat yang akan keluar dari panitia. Jangan harap bisa physical distancing.
 
Terus jatah tenda di Arafah, satu Kloter dialokasikan dua tenda. Satu untuk jamaah lelaki dan satu tenda untuk jamaah perempuan. Artinya satu tenda untuk sekitar 200 orang. Namun Kloter kami saat tahun 2017, dikapling muasasah seperempat bagian untuk Jamaah Sumatera Utara. 
 
Perjalanan berat berikutnya adalah usai Wukuf, lewat Magrib adalah perjalanan ke Muzdalifah untuk Mabit. Area Muzdalifa itu tidak luas dan sudah dikapling-oleh Muasasyah sesuai Maktab.  Mobilisasi jamaah dari Arafah dimulai usai Magrib. Jaraknya meman tiak jauh. Namun mobilisasi serentak dengan kemacetan luar biasa. Naik bus berdesak-desakan. Sampai di Muzdalifah turun dan mencari posisi mabit di lapangan. Idealnya, lewat tengah malam, jamaah baru mulai dimobiliasi ke tenda-tenda di Mina. Namun karena jamaah terus berdatangan, area makin padat, sekitar pukul 10 malam waktu setempat sudah ada Maktab yang diminta berangkat ke Mina. 
 
Naik bus dari Muzdalifah ke Mina punya cerita sendiri. Karena sudah kecapekan sejak di Arafah, banyak jamaah tidak sabar. Wanti-wanti petugas saat manasaik, agar naik bus sesuai nomor sudah tidak diperdulikan. “Ayo naik ajak aja. Bus Indonesia itu. Pastinya arahnya ke Mina” kata-kata sebagian pemandu jamaah yang tidak sabar ketika lewat tengah malam. Situasi ini nyaris membuat jamaah lansia rawan terjepit dan terinjak. Karena jalur naik bus tersebut ada besi pembatasnya.
 
Tenda Mina juga punya cerita. Jangan kan untuk physical distancing, untuk dapat tempat sekedar meluruskan badan saja susah. Kalau pun bisa, bahu akan bertemu  bahu dan ujung kaki bertemu ujung kaki. Namun itu pula lah indahnya nostalgia berhaji. Namun sangat tidak cocok kalau dilakukan dimusim Covid19. Melempar jumrah bak pawai. Jalan rapat dan berdesak-desakan. Usai tiga hari di Mina (bagi yang Nafar Tsani) atau dua hari bagi yang nafar Awal, semua jamaah terfokus ke Masjidil Haram untuk menuntaskan segera menuntaskan ritual haji dengan tawaf ifadah. Ini juga hari-hari penuh perjuangan, dan sangat sulit untuk physical distancing.
Panggilan Allah
 
Penulis memahami betapa sedihnya CJH 2020 yang tertunda keberangkatan tahun ini. Karena penungguan menunaikan ibadah haji adalah penungguan kerinduan tiada taranya. Hanya rindu bertemu Allah yang bisa mengalahkannya. Tidak heran, bila melihat ekspresi jamaah saat pertama turun pesawat dan menginjakkan kaki di Tanah Suci. Sujud syukur mencium bumi Allah di Tanah Suci seraya menumpahkan air mata., “Alhamdulilah ya Alah sampai juga kami ke Tanah SuciMu”, bergitu bahagianya tiada tara.
 
Namun yakinlah, panggilan ke Tanah Suci adalah keajaiban dan kegaiban yang hanya Allah yang tahu. Betapa banyak cerita tentang orang-orang yang secara kasat mata tidak mampu secara ekonomi, namun Allah mampukan datang ke Tanah Suci menjalankan ibadah haji. Sebaliknya, betapa banyak pula manusia yang secara kasat mata mampu secara ekonomi, namun belum Allah sampaikan hatinya ke Tanah Suci.
 
Penulis termasuk perindu Tanah Suci yang hanya bermodal do’a dan keyakinan kalau Allah berkehendak, semua bisa menjadi nyata. Ceritanya awal tahun 2006 silam, ibunda penulis menyampaikan niat ingin haji ke Tanah Suci. Saat itu, daftar porsi haji Rp20 juta. Ibunda hanya punya Rp5 juta. Tapi penulis yakin, Allah akan cukupkan. Penulis ajak abang dan adik berembuk. Alhamdulilah cukup dan bisa daftar. Tenanglah hati. Mudah-mudahan tahun depan bisa berangkat. Masih cukup waktu untuk mengumpulkan dana sisanya. Namun alangkah kagetnya penulis, dapat kabar kalau nama ibunda keluar untuk melunasi dan bisa berangkat tahun itu juga. Kabar itu membuat senang bercampur risau. Senang karena ibunda bisa berangkat bersama dengan abang dan adiknya sudah daftar setahun sebelumnya. Risaunya, darimana cari uang pelunasan ONH di dapat. Sungguh Allah Maha Kuasa. Penulis dapat ajakan dari kawan menyusun sebuah buku secara kolaborasi. Dan bagian honornya pas senilai pelunasan ONH ibunda.
 
Singkat cerita, dua tahun kemudian tahun 2008, penulis kenal dan ketemu orang baik. Seorang pengusaha travel umroh. Baru kenal, dia tiba-tiba menawarkan berangkat urmah. Sambil bercanda, penulis bertanya, dapat diskon berapa? Dia mengatakan siap-siap saja, tak usahkan pikirkan biayanya. Bergetar hati ini seraya mengucap syukur pada Allah. Dan beberapa bulan kemudian pada tahun itu, pertama kali dalam hidup penulis bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci. Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Lima tahun berselang yakni tahun 2013, masih oleh pengusaha baik yang sama penulis diberangkatkan lagi umrah ke Tanah Suci mendampingi sejumlah jamaahnya.
 
Keajaiban Allah tidak cukup sampai di situ. Usai dua kali umrah, datanglah dalam hati ini kerinduan menunaikan ibadah haji. Namun dari mana jalannya juga belum tahu. Tapi penulis sekali lagi sangat yakin, Allah Maha Tahu. Tahun 2014. Penulis dan istri bincang-bincang tentang kehidupan. Saat itu, anak penulis (lelaki saat itu tunggal sudah mau naik kelas 6 SD). Rencana kami, tamat SD, dia mau masuk ke pondok.

Artinya, kami segera tinggal berdua saja di rumah. Di tengah membayangkan itu, tiba-tiba muncul ide, bagaimana kalau kita daftar haji. Biar ada juga yang kita tunggu-tunggu dan menjadi pemotivasi. Dan bulat lah hati. Tahun 2014 itu, kami buka tabungan dan dapat porsi. Sesuai Siskohat (sistem informasi dan komputerisasi haji terpadu) estimasi keberangkatan tahun 2029. (saat itu masih pemangkasan kuota 30 persen karena perluasan Masjidil Haram). 

Empat bulan setelah mendaftar haji, kabar mengagetkan datang. Setelah 9 tahun, istri penulis hamil lagi. Akhir Agustus 2015, setahun setelah mendaftar porsi haji, kami dikarunia seorang bayi perempuan oleh Allah. Sungguh karunia tiada tara, Sulit diceritakan dengan kata-kata. Allah Maha Besar.
 
Seiring waktu, pemotongan kuota berakhir tahun 2017. Sehingga estimasi Siskohat keberangkatan kami menjadi tahun 2026. Alhamdulillah.  Lagi-lagi keajaiban Allah datang tahun itu. Penulis diamanahkan menjadi Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) Provinsi Riau Tahun 2017. Kabar datang menjelang Ramadhan. Istri sempat khawatir, tugas TPHD ini akan berpengaruh ke porsi di Siskohat. Setelah ditanya-tanya, Alhamdulilah tidak berpengaruh. Karena porsi sudah duluan.
 
Pembatalan keberangkatan haji tahun 2020, tentu berpengaruh kepada antrean di Siskohat. Secara mastematis akan terjadi kemunduran setahun kalau tidak terjadi penambahan atau pengurangan kuota. Kalau JCH 2020 yang ditunda ke 2021, tentu saja porsi penulis dan istri akan tertunda dari tahun 2026 ke 2027. Namun penulis haqqul yakin, datang ke Tanah Suci itu adalah panggilan Allah. Siskohat memang mengatur begitu, tapi Allah punya kehendak. 

Keberangkatan itu bisa saja lebih cepat atau malah lebih lambat. Atau Allah takdirkan lain. Kerena sungguh Allah Yang Maha Kuasa. Kita hanya hambaNya yang menjalankan takdir. Mari kita semua percaya. Wallahhualam. ***

H Asril Darma adalah jurnalis yang sekarang menjabat komisioner di KPID Riau, berdomisili di Pekanbaru.