Opini ERINA DJOHAR

Media, Ayo Perkaya Kosakata Bahasa Indonesia!


Rabu, 27 Mei 2020 - 13:43:54 WIB
Media, Ayo Perkaya Kosakata Bahasa Indonesia!
Erina Djohar, Wartawan Riauin.com | Istimewa
ISTILAH-istilah baru ataupun yang maknanya  diperbarui  bermunculan bak wabah di tengah pandemi Covid-19.  Sebut saja  istilah  ‘lockdown’, ‘mudik’ vs ‘pulang kampung’ hingga yang paling anyar istilah ‘new normal’. Media massa pegang peranan penting dalam menentukan istilah-istilah mana saja yang layak masuk dalam deretan  kosakata bahasa Indonesia.

Sebagai alat komunikasi, bahasa (termasuk bahasa Indonesia) terus berkembang. Dengan bahasa, masyarakat bisa mendapatkan informasi tentang segala sesuatu yang dibutuhkan. Dalam perkembangannya, satu bahasa pernah mengambil atau menerima unsur-unsur dari bahasa lain yang akhirnya akan menjadi bagian dari kosakata yang bersangkutan. Kosakata yang dimaksud disebut juga sebagai unsur pinjaman.

Unsur pinjaman adalah bunyi, fonem, unsur gramatikal, atau unsur leksikal yang diambil dari bahasa lain (Harimukti Kridalaksana dalam bukunya Fungsi  Bahasa dan Sikap Bahasa, 1982: 174) .

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing seperti Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda atau Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi dalam dua golongan besar.

Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti kata ‘reshuffle’, ‘shuttle cock’, ‘l’exploitation de l’homme par  l’homme’. Unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. 

Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya  disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya. Contohnya, ‘ch’ yang lafalnya ‘s’ atau ‘sy’ menjadi ‘s’, seperti dalam kata ‘echelon’ menjadi ‘eselon’. Tapi ada juga yang persis sama dengan kata asalnya seperti, ‘stereo’, ‘khusus’, ‘akhir’, dan sebagainya. (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia/PUEBI ).

Motivasi peminjaman itu sendiri  adalah untuk prestise dan memenuhi kebutuhan istilah dalam bidang-bidang tertentu, seperti istilah dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, kesehatan dan lain-lain (Hockette, CF dalam bukunya A Course in Modern Linguistic (1962:404-405).

Lalu bagaimana dengan istilah-istilah yang mewabah di tengah pandemi Covid-19 di negeri kita? 

Dari puluhan istilah yang saya rangkum, selain istilah yang sudah ada dalam kosakata bahasa Indonesia (yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI), juga terdapat istilah  berupa singkatan kata, akronim dan  istilah asing. 

Beberapa istilah yang sering muncul selama wabah corona di antaranya: 1) Covid-19: memiliki, arti kata Co yakni corona, Vi yakni virus dan D yakni disease atau penyakit. Kemudian ditambahkan angka 19, yakni 2019 mewakili tahun munculnya virus Corona. 

2) Lockdown: situasi yang melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya. Indonesia tidak melakukan lockdown/karantina wilayah. 

3) Social Distancing: dilansir dari The Atlantic, ‘social distancing’ merupakan tindakan yang bertujuan mencegah orang sakit melakukan kontak dalam jarak dekat dengan orang lain. Hal ini bertujuan untuk mengurangi peluang penularan virus.  

Sedangkan menurut Center for Disease Control (CDC) atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, ‘social distancing’ adalah menjauhi perkumpulan, menghindari pertemuan massal, dan menjaga jarak antar-manusia. 4) Hand sanitizer:  salah satu cairan untuk membersihkan bagian tubuh, biasanya untuk tangan, dari kuman. Hand sanitizer pada umumnya terbuat dari alkohol dan triclosan, yang berfungsi sebagai antiseptik. 

5) Ventilator: 'mesin' penggerak udara di dalam paru-paru. Mesin ini dipasang untuk pasien yang secara fisik tidak dapat bernapas. 6) ODP: singkatan dari Orang dalam Pemantauan. ODP biasanya belum menunjukkan tanda-tanda sakit, namun pada umumnya ODP ini dipantau karena pernah melakukan kontak atau interaksi dengan pasien Corona. 

7) PDP: singkatan dari Pasien dalam Pengawasan. Pasien yang menunjukkan beberapa gejala Corona, seperti batuk, pilek, demam dan sesak napas akan mendapatkan pengawasan. Status PDP ini setingkat lebih tinggi daripada ODP. 8) PSBB: singkatan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar. 9) Isolasi: proses memisahkan orang yang sakit dengan Covid-19 dari orang lain, untuk menghentikan penyebaran penyakit. 

10) Pandemi: penyebaran epidemi di seluruh negara hingga benua. Penyebaran ini akan berdampak pada banyak orang di seluruh dunia. 11) Karantina: menjaga orang-orang yang mungkin sakit terpisah dari orang lain, untuk mencegah mereka dari menyebarkan penyakit secara tidak sadar. Karantina digunakan untuk orang yang tidak sakit Covid-19, tetapi telah terpapar dengan pasien.  

12) Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah dipilih oleh beberapa perusahaan hingga lembaga pemerintahan. Bekerja dari rumah dalam kondisi saat ini diyakini dapat meminimalisir penularan virus Corona. 

Masyarakat mengenal istilah-istilah tersebut , salah satunya dari media massa, baik cetak maupun daring (dan media sosial tentunya tidak boleh kita abaikan peranannya dalam penyebaran istilah-istilah ini). Kehati-hatian para jurnalis dalam menggunakan istilah, terutama yang berasal dari bahasa  asing sangat diperlukan. 

Walaupun seorang jurnalis dituntut untuk menjadi orang yang serba tahu, jangan pula sampai  jadi orang sok tahu. Artinya, jika ada istilah yang tidak atau  kurang dimengerti, ‘wajib’ hukumnya untuk mencari  rujukan atau bertanya kepada sumber-sumber  berkompeten. 

Apakah istilah-istilah asing yang berkaitan dengan Covid-19 ini semuanya akan masuk dalam deretan kosakata  bahasa Indonesia? Jawabannya tentu saja tergantung kebutuhan dari bahasa itu sendiri. Bisa jadi beberapa istilah akan tetap dipinjam dan diserap sepenuhnya, mungkin karena alasan belum ada padanan yang tepat untuk istilah tersebut. Atau bisa jadi  istilah ini dipinjam dan diserap berdasarkan bunyi asal katanya. Dan bahasa Indonesia sudah punya aturan tersendiri dalam  penyerapan istilah-istilah dari bahasa asing ini.  

Mudik vs Pulang Kampung
Selain istilah-istilah di atas, ada istilah yang muncul berkaitan dengan covid-19, yakni kontroversi makna mudik dan pulang kampung yang dimunculkan Presiden Jokowi di acara  Mata Najwa, 22 April 2020 baru lalu.  

Sebagian besar masyarakat mungkin sependapat dengan Najwa Sihab (pembawa acara), bahwa  kedua istilah tersebut sama saja maknanya. Tapi presiden menyatakan kedua istilah tersebut beda makna.  

Versi Presiden: mudik  merupakan pergerakan orang ke kampung yang dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sedangkan pulang kampung  dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di Jakarta, tetapi anak-istrinya ada di kampung dan dia memutuskan kembali ke kampung karena tak ada pekerjaan.

Sebetulnya, kalau ingin mencari kebenaran maknanya,  tentu saja rujukan paling tepat adalah KBBI  (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dan ternyata menurut KBBI kedua istilah tersebut adalah sinonim (bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain).

Versi KBBI: mudik v (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman): dari Palembang sampai ke Sakayu. v cak pulang ke kampung halaman: seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang pulang kampung kembali ke kampung halaman; mudik: dia--kampung setelah tidak lagi bekerja di kota.

Karena yang 'melawan'  KBBI adalah orang nomor satu di republik ini, 'adrenalin' para wartawan langsung terpacu dengan mengejar para ahli bahasa sebagai nara sumber. Beberapa hasil berita yang Saya himpun, ternyata kalangan ahli bahasa dan komunikasi juga punya pendapat berbeda, ada yang sependapat dengan presiden, ada pula yang sependapat dengan KBBI. 

Berikut saya kutip beberapa pendapat ahli seputar entri mudik dan pulang kampung.

DR Devie Rahmawati, dosen dan peneliti tetap Program Vokasi Humas UI mengatakan, secara praktik ‘mudik’ menjadi dekat dengan tradisi para migran yang kembali ke kampung setahun sekali dan biasanya bertepatan dengan perayaan hari keagamaan seperti Lebaran. Sedangkan ‘pulang kampung’ dapat dilakukan kapan saja, tidak mesti hanya setahun sekali.

Dia menduga, tradisi mudik muncul pada 1970-an. Menyitir temuan Maman Mahayana, dalam kamus-kamus yang terbit sebelum tahun 70-an, mudik belum diartikan sebagai pulang kampung. Mudik diartikan berlayar ke udik atau pergi ke hulu sungai. Barulah pada kamus Bahasa Indonesia yang terbit pada tahun 1976, ‘mudik’ yang bermakna ‘pulang kampung’ muncul.

Istilah ‘mudik’ muncul bertepatan dengan masa pembangunan Orde Baru, kurang lebih mudik  dapat dilihat sebagai dampak pembangunan Indonesia yang terpusat di Jakarta. Di sisi lain, pemusatan penduduk ini tidak serta-merta menghilangkan sentimen penduduk terkait terhadap daerah asal kelahirannya--tempat keluarganya berada. Akhirnya terciptalah tradisi dalam setahun sekali para penduduk pulang ke desa, tradisi ini kemudian dikenal sebagai mudik.(detik.com)

Prof Dr Rahayu Surtiati Hidayat, Guru Besar Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, UI juga berpendapat sama dengan Presiden. Menurut Rahayu, biasanya pembaca kurang cermat. Di KBBI tertulis v cak. Cak itu berarti percakapan dan bahasa percakapan anti kaidah. Sebab arti pulang kampung beda dengan mudik namun mudik kerap dipakai dalam bahasa percakapan.

Dia berasumsi, mungkin dahulu sebagian besar wilayah Indonesia berbentuk kampung, banyak warga lahir di kampung (halaman). Dan banyak pekerja di Jakarta meninggalkan keluarganya di kampung. 

Sementara Prof Effendi Gazali, Peneliti Komunikasi dari UI menyatakan ikut versi KBBI yang terakhir dimutakhirkan bulan Oktober 2019. Tapi yang pasti menurut Budi Radjab, Antropolog dari Universitas Padjajaran,  mudik itu sendiri pasti pulang kampung.

Ahli bahasa yang juga mendukung makna yang ada di KBBI adalah Prof Mahsun, Guru Besar Bidang Linguistik Universitas Mataram.  

Guru Besar Bidang Linguistik Universitas Mataram Prof Mahsun.  Dia berpendapat kata ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ memiliki makna yang sama. Mengacu pada KBBI, menurut dia, konstruksi pulang ke desa atau kampung merupakan salah satu makna dari kata mudik itu sendiri. 

Menurut Mahsun, Presiden Jokowi memberi makna baru pada konstruksi ‘pulang kampung’ sebagai peristiwa pulangnya para pekerja di perantauan ke kampung halamannya tempat anak dan istrinya tinggal. Hal itu tentunya bisa terjadi kapan saja. Sedangkan mudik hanya terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Persoalannya bolehkah mengubah makna suatu istilah? Mahsun menjelaskan beberapa sifat dasar dari bahasa manusia yakni berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan penuturnya. Selain itu bahasa manusia bersifat arbiter atau manasuka.

Artinya kata-kata dalam bahasa itu diciptakan oleh penuturnya secara manasuka. Sifat yang kedua ini, memungkinkan terjadinya perbedaan penamaan tentang satu konsep yang sama antar beberapa bahasa.  Ia lantas menyebutkan apa yang disebut sebagai 'celana' oleh orang berbahasa Melayu/Indonesia, oleh orang Jawa disebut 'katok', dan  orang Sumbawa menyebutnya 'seluar' Tidak ada hubungan logis antara nama dengan konsepnya.

Jika melihat dua sifat dasar bahasa tersebut, maka tidak ada alasan menolak pemaknaan baru dari kata mudik dan pulang kampung seperti yang disampaikan Jokowi. Apalagi beliau memiliki pengaruh yang sangat besar sebagai orang nomor satu di Republik ini. Bukankah makna kata atau tuturan ditentukan siapa yang mengucapkan kata itu? (Antara, 24 April 2020)

Jeli Gunakan Istilah
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli  bahasa tersebut, saya  dapat  menarik kesimpulan, bahwa media massa (terutama wartawan) harus jeli menggunakan istilah  bahasa Indonesia, terutama istilah-istilah yang berasal dari bahasa daerah ataupun  asing yang kemudian jadi bahasa baku/diserap  ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian  ada dalam KBBI.  Kejelian juga harus dimiliki  para penyusun kamus (KBBI),  untuk segera melakukan revisi entri/lema, jika ada entri/lema yang mengalami perubahan makna, sehingga para pengguna bahasa bahasa tidak salah/keliru dalam menggunakan istilah.

Bagi saya sebagai seorang jurnalis dan mungkin juga masyarakat pada  umumnya, mudik vs pulang kampung ini  menjadi sebuah ilmu  yang sangat berharga. Bagaimana tidak, selama ini kedua kata tersebut saya anggap sinonim (bermakna sama). Bedanya hanya pada bentuk,  mudik adalah istilah yang berasal dari bahasa  daerah, yakni  udik dan pulang kampung merupakan idiom /frase. Makna versi Jokowi ini semakin mempertajam makna dari masing-masing kedua istilah tersebut. Dan ini, menurut saya, juga jadi masukan penting bagi tim penyusun KBBI agar lebih dalam  lagi menggali makna dari setiap entri/lema beserta turunannya.  

Lebih populernya suatu istilah yang sama dibanding istilah lain yang bermakna sama, tentunya tidak terlepas dari peran media massa yang juga lebih cenderung menggunakan istilah mudik, misalnya. Semakin sering media menggunakan suatu istilah, semakin populer dan familiar istilah tersebut di kalangan pemakai bahasa.

Makna versi Jokowi ini juga mengingatkan saya pada apa yang pernah diungkapkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan ketika dia menjabat menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016 lalu. Bahwa bahasa daerah merupakan sumber tepat untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Apalagi Indonesia memiliki 700 bahasa daerah yang bisa menjadi referensi kosakata bahasa Indonesia. Dalam hal ini termasuk menyerap istilah-istilah bahasa yang ada di daerah (Republika, 8 Mei 2016).  

Dia mengatakan, peran media massa sangat besar dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Pasalnya, media massa memiliki ruang publik dengan pengaruh yang sangat besar. Jurnalis dianjurkan untuk mencari padanan sebuah kata dari bahasa daerah untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Tidak perlu  khawatir menggunakan bahasa daerah, asal sambil menjelaskan maknanya.  

Anies menyebutkan istilah tsunami yang lebih sering dipakai dan lebih dikenal masyarakat saat ini. Padahal Indonesia sebenarnya sudah memiliki istilah serupa yang berasal dari bahasa Aceh, yaitu ‘smong’. Mungkin ketika media memakai kata smong, orang akan bingung, tapi di sana kesempatan untuk memperkenalkan kekayaan bahasa daerah di Indonesia. Kata lainnya adalah santai. Istilah ini aslinya merupakan Bahasa Komering, bahasa daerah Sumatera Selatan. 

Dulunya, ada seorang jurnalis yang bingung mengungkapkan istilah rileks dengan Bahasa Indonesia.bIstilah rileks sendiri merupakan serapan dari Bahasa Inggris, yaitu rilex. Setelah menimbang-nimbang, pada rapat redaksional jurnalis tersebut, diputuskan untuk mengganti kata rileks dengan kata santai. Sejak saat itu, hingga hari ini, kata santai digunakan terus dan jadi dikenal oleh semua orang. (Kompas.com/2016).

Dengan banyaknya kata serapan dari bahasa daerah yang digunakan dunia jurnalistik, tentunya akan semakin memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia. Dan tidak tertutup kemungkinan suatu hari nanti bahasa Indonesia bisa digunakan di ranah internasional.  

Istilah 'New Normal' 
Belum selesai kontroversi seputar makna mudik dan pulang kampung muncul lagi istilah baru masih sekaitan dengan Covid-19, yakni ‘new normal’. Istilah new normal belum ada padanan bakunya dalam bahasa Indonesia.

Sebagian media  menerjemahkannya menjadi ‘normal baru’. Namun ada juga yang memilih istilah ‘kewajaran baru’. ‘New normal’ adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. (Kompas.com, 26 Mei 2020). 

Istilah ‘new normal’ muncul setelah Jokowi menegaskan masyarakat harus bisa berkompromi, hidup berdampingan, dan berdamai dengan Covid-19 agar tetap produktif. Dengan demikian, pemerintah akan mengatur agar kehidupan masyarakat agar dapat kembali berjalan normal,  inilah yang kemudian disebut Jokowi sebagai ‘new normal’.

Istilah  ‘new normal’  pada awalnya adalah jargon dalam dunia ekonomi dan bisnis. Istilah tersebut mengacu pada pembuat kebijakan dunia bahwa ekonomi industri akan kembali ke "cara terbaru" setelah dihantam krisis keuangan pada 2007-2008. Istilah ini  pertama kali muncul dalam publikasi pada artikel yang ditulis oleh Rich Miller dan Matthew Benjamin berjudul "Post-Subprime Economy Means Subpar Growth as New Normal in U.S."  (AyoBandung.com/27 Mei 2020).

Setahun kemudian, ‘new normal’ kembali ramai diperbincangkan setelah muncul dalam kolom opini berjudul "Prepare for the Best" yang ditulis oleh Paul Glover. Artikel tersebut tayang di media daring Philadelphia Citypaper pada 29 Januari 2009, sebagai  panduan bagi warga Kota Philadelphia menghadapi isu global warming.  

Pada tahun 2010, istilah ini  semakin populer sehabis Ketua PIMCO, Mohamed A El-Erian, menyampaikan kuliah umum yang berjudul "Navigating the New Normal in Industrial Countries". Kuliah umum tersebut disampaikan pada 10 Oktober 2010 dan disiarkan secara online ke seluruh dunia. PIMCO merupakan lembaga manajemen investasi global yang berfokus pada manajemen pendapatan tetap aktif. El-Erian menyampaikan istilah New Normal dengan mengacu pada artikel yang ditulis Rich Miller and Matthew Benjamin yang terbit di Bloomberg dua tahun sebelumnya. 

Sejak itu, istilah New Normal semakin sering digunakan dalam pemberitaan di media-media besar di berbagai negara seperti ABC News, BBC News, dan the New York Times. Bahkan istilah ‘new normal’ dijadikan sebagai salah satu tema dalam debat Presiden AS tahun 2012 antara calon presiden Barack Obama dan Mitt Romney. Sejak pandemi Covid-19 merebak ke seluruh dunia, istilah ‘new normal’ kembali ramai digunakan.  

Peran Penting Media  
Bahasa/istilah yang digunakan para jurnalis pegang peranan penting dalam upaya memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Kenapa? Karena, jurnalis melalui media tempatnya berkarya selama ini berperan aktif dalam mempopulerkan suatu kata atau istilah sehingga kemudian diikuti oleh masyarakat. Atau sebaliknya, suatu istilah  yang sering digunakan masyarakat, biasanya di media sosial, kemudian dimunculkan lagi oleh wartawan yang kemudian menjadi populer.

Ikut mempopulerkan suatu kata/istilah  dan kemudian menggiringnya  untuk masuk dalam deretan kosakata bahasa Indonesia hanyalah sebagian kecil dari tugas para jurnalis  untuk ikut menguatkan bahasa Indonesia. 

Banyak rambu-rambu yang harus diperhatikan dan dijalankan seorang wartawan  termasuk media massa tempatnya berkarya yang harus diperhatikan  dan dipatuhi.  Misalnya saja dalam hal ejaan, pemakaian huruf kapital, bagaimana menulis nama seseorang beserta  jabatan/pangkat yang benar, pemakaian tanda baca ataupun penulisan kalimat langsung. Dan yang  sering dijumpai adalah  kesalahan  penulisan  kata  depan ‘di’, ‘ke’ dan ‘dari’. 

Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), penulisan kata depan di, ke dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti 'kepada' dan 'daripada'. Contohnya, Bermain sajalah di sini. Dia baru datang dari Surabaya. Jangan sampai pembaca kehilangan 'selera' untuk melanjutkan bacaannya akibat terlalu banyak kesalahan dalam sebuah laporan. 

Untuk itu, tak berlebihan kiranya jika seorang wartawan atau yang berada di dapur  redaksi  harus memiliki KBBI dalam bekerja. Dan tentunya  jangan malas buka kamus, baik edisi cetak maupun edisi daring. Kenapa harus buka kamus? 

Karena masih  sering kita baca di media cetak dan media online, apalagi  medsos yang bergaya bahasa suka-suka, kata-kata yang salah dalam penulisan. Misalnya saja kata ‘apotek’ dan ‘apotik’. Mana di antara dua kata ini yang sesuai dengan ejaan yang disempurnakan? Dalam KBBI hanya ada entri/lema apotek. Tidak ditemukan entri apotik. Kata apotek adalah kata benda (nomina) yang diserap dari bahasa Belanda yang memiliki arti: “toko tempat meramu dan menjual obat berdasarkan resep dokter serta memperdagangkan barang medis”. Apotek  bersinonim  dengan  rumah obat. 

Lalu bagaimana dengan istilah antre atau antri; produktivitas atau produktifitas; paham atau faham; izin atau ijin;  praktek atau praktik; cabai atau cabe; teknik atau tehnik; imbau atau himbau; jenderal atau jendral, komplet atau komplit, dan masih banyak entri lainnya. Sekali lagi, untuk mencari mana ejaan yang benar, tentunya harus membuka kamus (KBBI).         

Sesungguhnya, kalangan jurnalis punya bahasa dan gaya tersendiri dalam menulis berita, yakni Bahasa Indonesia Jurnalistik (BIJ). Bahasa Indonesia Jurnalistik tidak sama dengan ragam bahasa ilmiah (akademik), ragam sastra, ragam hukum, ragam keagamaan, ragam kesehatan, ragam militer, ragam bisnis, dan ragam lainnya. Sedangkan bahasa jurnalistik memiliki dua ciri utama, komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan, bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele dan tanpa basa-basi. Spesifik maksudnya mempuanai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek, kata-katanya jelas dan mudah dimengerti orang awam. 

Bahasa Jurnalistik hadir atau diperlukan oleh insan pers untuk kebutuhan komunikasi efektif dengan pembaca (juga pendengar dan penonton). Tapi yang pasti semuanya sama-sama menggunakan bahasa pemersatu bangsa yakni bahasa Indonesia. (Kompasiana, 16/11/2016; “Bahasa Jurnalistik).

Setidaknya ada 19 ciri BIJ yang menjadi  rambu bagi para jurnalis dalam menulis berita, yakni: 1) Sesuai dengan ejaan yang berlaku. 2) Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. 3.) Tidak menanggalkan prefik me- dan ber-, kecuai dalam judul berita.

4.) Menggunakan kalimat pendek, lengkap, dan logis. 5)Tiap alinea terdiri dari 2 atau tiga kalimat dan koherensinya terpelihara. 6) Penggunaan bentuk aktif (kata dan kalimat) lebih diutamakan. Bentuk pasif seperlunya saja. Kata sifat juga dibatasi penggunaannya. 7) Ungkapan-ungkapan klise seperti: sementara itu, perlu diketahui,di mana, kepada siapa dan sebagainya dihindari. 8) Kata berlebihan tidak digunakan. 9) Kalimat aktif dan pasif tidak dicampuradukkan dalam satu paragraf.

10) Kata asing dan istilah ilmiah yang sangat teknis tidak digunakan. Kalau terpaksa harus dijelaskan. 11) Penggunaan singkatan dan akronim dibatasi. Pada pertama kali singkatan dan akronim digunakan harus diberi penjelasan kepanjangannya. 12) Penggunaan kata yang pendek didahulukan daripada kata yang panjang. 

13) Tidak menggunakan kata ganti orang pertama (saya dan kami), berita harus menggunakan kata ganti orang ketiga. 14) Kutipan ditempatkan pada alinea baru.15) Tidak memasukkan pendapat sendiri dalam berita. 16) Berita disajikan dalam bentuk past tense sesuatu yang telah terjadi. 17) Kata hari ini digunakan dalam media elektronik dan harian sore. Sedangkan kata kemarin digunakan harian pagi hari. 

18) Segala sesuatu dijelaskan secara spesifik. 19. Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikatif, mudah dipahami bagi pembaca. (Rosihan Anwar dan Hohenberg).

Rambu-rambu inilah yang banyak diabaikan oleh media massa. Kenapa Saya sebut medianya, bukan langsung  ke ‘pelaku’nya yakni wartawannya, karena menurut pengalaman, hasil laporan para wartawan kemudian diedit oleh editor/redaktur. Hanya saja, masih berdasarkan pengalaman, seringkali  redaktur sudah kehilangan energi ketika berhadapan dengan laporan wartawan. Masalahnya, redaktur yang seharusnya mengedit berita, berobah fungsi jadi korektor akibat amburadulnya hasil ketikan wartawan. 

Parahnya lagi, gaya bahasa media, terutama media daring mulai terpengaruh dengan gaya bahasa medsos. Padahal sudah ada rambu-rambu  bahasa jurnalistik, yang semestinya menjadi pedoman bagi penulisan berita di media, namun  aturan-aturan dalam "bahasa jurnalistik" itu dilanggar. Bagi medsos tak ada rambu yang menghalangi ketika menyajikan informasi dengan gaya bahasa suka-suka dibumbui  sensasional dan bombastis. 

Akankan media daring akan menghalalkan bahasa ala medsos  dengan alasan  untuk meningkatkan daya kunjungan pada situs yang dimaksud? 

Semoga ke depan, para jurnalis  bekerja lebih  profesional dan lebih banyak menggiring kosakata baru yang bermanfaat ke dalam khazanah  kosakata bahasa Indonesia. Ayo para jurnalis, jangan takut gunakan istilah daerah untuk menambah pundi kosakata bahasa persatu kita, bahasa Indonesia.(*)

Erina Djohar, adalah wartawan berdomisili di Pekanbaru.