Opini MIMI YULIANI NAZIR

Karena Kita Harus Menjaga Kehidupan untuk Lebaran Berikutnya


Selasa, 19 Mei 2020 - 16:25:13 WIB
Karena Kita Harus Menjaga Kehidupan untuk Lebaran Berikutnya Mimi Yuliani Nazir. | istimewa
Awal kemunculan virus covid-19 di Wuhan, Tiongkok pada bulan Januari mengkhawatirkan kita semua.

Kebetulan ada 6 mahasiswa Riau yang berkuliah di Wuhan (yang sudah kembali ke Riau pada bulan Februari setelah menjalani karantina di Natuna), saya pun mendapat cerita bagaimana mencekamnya keadaan disana.

Dari situasi tersebut, Saya, dr. Indra Yovi (Jubir covid-19 dan ketua tim dokter), dan dr. Nuzelly Husnedi (Direktur RSUD Arifin Achmad) menyambangi kediaman Pak Gubernur Riau Syamsuar untuk menyampaikan kekhawatiran kami dan langkah penanganan bila virus ini sampai di Bumi Lancang Kuning. 

Dari pertemuan tersebut, didapati kita akan memeriksa suhu tubuh penumpang penerbangan internasional dengan thermal scanner, seperti saat kemunculan virus ebola dan virus MERS.

Dalam perkembangan, gejala yang ditimbulkan virus ini mulai bervariasi, bahkan ada yang tanpa gejala namun dapat menulari orang lain. Ini yang terjadi terhadap pasien 01 covid-19 di Indonesia ketika ia menemui WNA yang tidak bergejala namun setelah pulang ke negaranya diketahui ia positif covid-19 dan menulari dirinya. 

Kemunculan kasus pertama di Indonesia ini cukup mengguncang kita, terutama pasar alat kesehatan untuk masker bedah dan baju hazmat. Beruntung Pemprov Riau sebelumnya telah menyiapkan stok awal untuk masker bedah dan baju hazmat yang langsung didistribusikan untuk RS rujukan covid-19 di Riau, sehingga stok APD di rumah sakit yang menangani pasien covid-19 di Riau dari awal kemunculan virus ini di Indonesia hingga saat ini masih aman. 

Bantuan APD dari masyarakat, perusahaan, organisasi, dan berbagai pihak turut membantu kami menjaga stok APD untuk tenaga kesehatan.

Mengenai RS rujukan covid-19 di Riau, awalnya Kementrian Kesehatan menunjuk 3 rumah sakit, yakni RSUD Arifin Achmad, RSUD Kota Dumai, dan RSUD Puri Husada Tembilahan. 

Pemprov Riau sadar kalau hanya 3 rumah sakit ini yang menangani pasien covid-19, Riau akan kelabakan. Oleh sebab itu, pada pertengahan Maret Pemprov Riau menggandeng rumah sakit swasta, TNI/Polri, dan RSUD tiap kabupaten/kota melalui SK Gubri No. 568/III/2020 tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan Penanggulangan Infeksi Emerging Tertentu Provinsi Riau sehingga total rumah sakit rujukan menjadi 48 rumah sakit. 

Total ruang isolasi yang tersedia di Riau semulanya 290 kapasitas tempat tidur dan untuk saat ini menjadi 630. Selain itu, untuk mempersiapkan skenario terburuk Pemprov Riau juga telah menyiapkan 1064 ruang isolasi darurat di berbagai balai diklat yang ada di Riau apabila jumlah pasien membludak. Kita bersyukur sampai saat ini ruang isolasi yang tersedia masih mencukupi dan semoga akan terus mencukupi.

Tanggal 18 Maret 2020 menjadi tanggal diterimanya hasil swab pasien M (64) sekaligus kemunculan kasus positif covid-19 pertama di Riau. Pada saat itu, sampel swabnya dikirim ke laboratorium Balitbangkes di Jakarta. Perlu waktu 5 hari untuk mengetahui hasilnya. Seiring bertambahnya pasien dan sampel swab yang harus diuji, hasil pengujian terkadang baru diterima hingga 2 minggu. 

Dalam waktu menunggu tersebut, pasien seperti digantung. Penggunaan APD menjadi boros karena Pasien Dalam Pengawasan (PDP) diberlakukan protokol pasien covid-19. Kita beruntung, Pak Gubernur meminta Dinas Kesehatan membeli alat Real-Time Polymerase Chain Reaction (PCR), alat pemeriksa swab pasien covid-19 sesuai standar WHO. 

Alhamdulillah, tanggal 20 April 2020 Riau sudah memeriksa sendiri sampel swabnya di Laboratorium Biomolekuler RSUD Arifin Achmad sehingga mempersingkat waktu uji swab pasien menjadi 2-3 hari.

Pemprov Riau bersama pemerintah kabupaten/kota yang ada di Riau sedari awal aktif melakukan rumus penanganan virus covid-19, yakni test-trace-isolate. Untuk test (tes), Pemprov Riau dengan Laboratorium Biomolekuler-nya sudah menguji swab lebih dari 2477 sampel, belum termasuk sampel yang dikirim ke Jakarta dan rapid test. 

Untuk Trace (mengusut), Pemprov Riau dan pemerintah kabupaten/kota bekerjasama dalam melakukan penelitian epidemiologis (PE) untuk mencari kontak erat dari pasien positif covid-19 dan memberikan edukasi kepada masyarakat yang sempat ditemui sang pasien atau lingkungan sekitarnya. 

Dari trace inilah ditemui adanya Klaster Pertemuan Nakes Teladan, Klaster Ponpes Magetan, dan klaster lainnya. Hal yang menjadi perhatian kami, cukup banyak pasien positif covid-19 yang tidak pernah keluar kota dan tidak ada riwayat kontak dengan pasien positif covid-19 lainnya. 

Artinya, sumber penularan virusnya masih tidak jelas. Untuk isolate (isolasi), Pemprov Riau mengambil kebijakan yang berbeda dengan daerah lainnya. Di Riau, seluruh PDP dan pasien positif harus diisolasi di rumah sakit, tidak ada isolasi di rumah. Hal ini memudahkan tim medis memantau perkembangan kesehatannya dan memastikan ia tidak berkeliaran.

Namun, dari sekian hal tadi. Tantangan terberat dalam menghadapi virus ini adalah mengubah perilaku masyarakat. Saya mengutip dari data UNICEF pada tahun 2014 yang mengungkapkan bahwa 75,5% masyarakat Indonesia tidak mencuci tangan karena menganggap tangan mereka bersih. 

Selain itu, riset yang dilakukan Sydney University menunjukkan bahwa secara tidak sadar manusia menyentuh wajah mereka rata-rata 23 kali per jam yang 44 persennya melibatkan kontak dengan mata, hidung, atau mulut. Berlawanan dengan protokol kesehatan pencegahan covid-19.

Sosialisasi terkait protokol pencegahan virus covid-19 ini sudah dilakukan jauh-jauh hari. Saya yakin mayoritas masyarakat sudah tau terkait virus ini. Tetapi, mayoritas masyarakat sudah menjalankan protokol tersebut, sepertinya belum. 

Dari observasi yang dr. Indra Yovi sampaikan, per pertengahan Mei ini hanya 24% masyarakat Riau yang menggunakan masker ketika keluar rumah. Belum termasuk protokol kesehatan lainnya, seperti jaga jarak, cuci tangan dengan sabun, keluar rumah bila penting, dan lainnya. Kami yang berada di dalam pemerintahan pun terkadang lupa untuk menjaga jarak ketika bekerja. Inilah kenyataannya dan ini juga yang harus kita ubah.

Ketika Kementrian Kesehatan membuka opsi untuk pemerintah daerah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemprov Riau benar-benar mempertimbangkan pemberlakuannya. Mengingat posisi kita yang berada di pusat pulau Sumatra. 

Mengingat Pekanbaru yang merupakan pusat perdagangan yang memiliki mobilitas tinggi dengan daerah penyangganya, Siak, Kampar, dan Pelalawan. Mengingat Dumai yang aktifitas pelabuhannya tinggi dan memiliki jalur transportasi laut antar negara. 

Diperkuat dengan kajian Bappenas RI yang menyebutkan Riau sebagai daerah dengan resiko penyebaran virus terbesar ke-9 di Indonesia. Oleh karena itu, Pemprov Riau bersama pemerintah kabupaten/kota memilih opsi PSBB untuk menjaga kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan.

Kenapa harus PSBB? Karena PSBB mempunyai dasar hukum untuk menegakkan protokol kesehatan tersebut. Sebelumnya, tidak ada kewenangan aparat untuk membubarkan kerumunan yang sedang nongkrong-nongkrong biasa. 

Tidak ada kewenangan untuk menindak masyarakat yang tidak menggunakan masker. Karena itu, PSBB menjadi perantara untuk mengubah perilaku masyarakat yang belum pakai masker, tidak melakukan jaga jarak, dan masih nongkrong yang tidak terlalu penting. Juga, untuk mengedukasi masyarakat terkait cuci tangan pakai sabun dan tidak menyentuh wajah. 

Hasilnya, masyarakat mulai menggunakan masker ketika keluar rumah, meskipun sebagian alasannya karena ada penilangan dari polisi. Kedepannya dengan atau tanpa tilang, kita harus sadar protokol kesehatan ini karena untuk kesehatan sendiri dan menjaga keluarga kita.

Hal yang perlu kita ingat, PSBB ini adalah kebijakan dengan persepsi kesehatan yang dilakukan demi menjaga kesehatan masyarakat itu sendiri dan menjaga tenaga kesehatan kita. 

Tidak bermaksud untuk “mengurung” masyarakat di rumah. Tidak dengan tujuan menyusahkan masyarakat. PSBB ini murni untuk menjaga kesehatan masyarakat karena kalau mobilitas masyarakat tetap seperti biasa tanpa menjalankan protokol pencegahan, kurva covid-19 Riau akan meningkat tajam, pasien bisa membludak, dan kalau tidak terkendali, sistem dan tenaga kesehatan kita akan kewalahan.

Kami paham masyarakat masih ada yang harus bekerja, apalagi yang pekerjaannya terkait pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kalau memang harus bekerja di luar rumah, jalankanlah protokol kesehatan, pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Menjalankan protokol ini penting karena yang terlihat sehat belum tentu tidak tertular dan tidak menulari. 

Memangnya protokol pencegahan covid-19 ini efektif memutus mata rantai virus? efektif! Salah satu buktinya ini, saya kutip dari pernyataan Kabag Penum Divisi Humas Polri, pada tanggal 8 Mei 2020 diadakan acara sertijab di Mabes Polri. 

Sehari setelah acara tersebut, diketahui salah satu peserta sertijab, Irjen Supratman, dinyatakan positif covid-19. Namun, karena pada acara sertijab tersebut diterapkan protokol pencegahan covid-19 secara “saklek”, perwira tinggi lainnya yang menghadiri acara sertijab tersebut tidak tertular virusnya. Sebegitu pentingnya protokol ini. Ini yang harus kita sadarkan dan biasakan dari diri sendiri.

Dengan kesadaran dari diri sendiri ini, kita bisa bekerja di tengah pandemi ini. Saya dan teman-teman lainnya yang tetap beraktifitas di luar rumah harus sadar menggunakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan. 

Kenapa? bagi saya sendiri, karena di rumah saya akan bertemu suami, anak, dan ibu saya yang umurnya sudah 76 tahun. Apabila saya tidak menjalankan protokol kesehatan dan saya tertular, saya kemungkinan besar dapat menularkan virus ini ke mereka dan belum tentu daya tahan tubuh mereka dapat melawan virus ini. Naudzubilahiminzalik.

Di sisi lain, kalau keluar rumah hanya karena bosan dan hal yang tidak penting, ingatlah untuk menjaga kesehatan keluarga di rumah, ingat mereka yang benar-benar menjaga diri dengan tetap di rumah, dan bantu tenaga kesehatan yang harus menahan rindu dengan keluarga karena menjalankan pengabdiannya. 

Percayalah, di saat anda ingin keluar rumah untuk hal yang tidak penting, para tenaga kesehatan justru ingin kembali ke rumah untuk bertemu keluarganya. Dengan keluar rumah tanpa alasan yang penting dan tanpa menjalankan protokol kesehatan, sama saja kita membuat pandemi ini semakin lama dan sama saja menyakiti masyarakat yang ekonominya terdampak karena pandemi.

WHO baru-baru ini menyatakan mungkin virus ini akan bersama kita selamanya atau setidaknya sampai vaksin virus ini ditemukan. Tentu saja, perekonomian masyarakat cukup berat apabila harus berjalan seperti ini terus. Kedepannya, apabila perilaku masyarakat sudah menjalankan protokol pencegahan ini, masyarakat yang bekerja memakai masker, “saklek” menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan, bukan tidak mungkin PSBB Riau dilonggarkan dan masyarakat dapat kembali menjalankan aktifitas dengan terbatas. Namun, masih panjang jalan menuju pelonggaran tersebut. 

Mungkin saja, nanti teman-teman dari Satpol PP/kepolisian hadir di mall, pasar, atau pusat aktifitas masyarakat lainnya untuk mengedukasi masyarakat untuk menjalankan protokol pencegahan covid-19.

Intinya adalah perilaku masyarakat yang harus menjalankan protokol pencegahan. Semakin masyarakat tidak mengikuti PSBB dan menjalankan protokol tersebut, semakin lama virus ini berkeliaran bersama dampak ekonomi dan dampak lain yang disebabkannya.

Salah satu dampaknya adalah pembatasan kegiatan agama yang dilakukan secara berkerumun. Jujur, saya sedih, kita semua sedih, ketika bulan ramadhan dan hari raya idul fitri kali ini tidak terasa seperti biasanya. Bukan karena pemerintah melarang, tapi karena kita ingin menjaga kehidupan masyarakat sampai ke lebaran-lebaran berikutnya. 

Kenapa diharuskan salat di rumah? Dari pandangan medis, yang namanya kerumunan, dalam rangka apapun itu, merupakan kegiatan dengan resiko penyebaran virus terbesar. Organisasi islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, bersama para ulama juga sudah sepakat untuk menjaga kehidupan kita dan membantu tenaga kesehatan dengan menjalankan berbagai fatwa MUI terkait covid-19.

Salat di rumah ini tidak hanya dilakukan Indonesia saja, tetapi Arab Saudi, Turki, Malaysia, dan negara lainnya juga menerapkan hal ini demi menjaga kesehatan umat. Agama yang mendapat pembatasan akibat covid-19 ini bukan hanya islam, namun keenam agama di Indonesia. Bukan karena dilarang, justru karena kita sayang kita harus menjaga kehidupan manusia ini.

Tentang pembatasan berkegiatan saat pandemi ini, saya ingin membawa contoh ibu saya. Sebelum pandemi ini, beliau merupakan orang yang paling tidak betah berdiam diri di rumah dan paling suka “raun-raun”, namun karena pandemi ini kami bersaudara sepakat untuk menjaga ibu kami dengan membuatnya tetap di rumah saja. 

Bukan karena kami tidak senang ibu kami jalan-jalan, namun karena kami sayang dengan ibu kami dan ingin tetap bersamanya untuk lebaran-lebaran berikutnya. Awalnya, maklum beliau belum terbiasa, tapi seiring berjalannya waktu beliau sadar ini bentuk kasih sayang kami.

Untuk masyarakat yang tidak mudik tahun ini, Pemprov Riau mengapresiasi penuh. Anda memikirkan kesehatan keluarga anda di kampung halaman. Anda tidak mudik karena sayang dengan keluarga anda, bukan karena tidak rindu dan hal lain. 

Terima kasih karena telah sadar walau anda sehat, belum tentu anda negatif covid-19 dan tidak dapat menulari orang lain. Bisa saja menjadi carrier (pembawa virus) alias orang tanpa gejala (OTG) dan OTG ini banyak ditemukan di Indonesia. 

Terima kasih telah membantu tenaga kesehatan yang tidak bisa mudik tahun ini. Perlu kita pelajari bahwa lonjakan tajam kasus covid-19 di Tiongkok terjadi setelah banyak masyarakatnya yang mudik pada hari raya Imlek. Kita tidak boleh jatuh di lubang yang sama.

Pada saat-saat seperti ini, kita jangan egois. Jangan memikirkan diri sendiri. Pikiran “kalau tertular paling saya saja yang kena” harus dihilangkan. Ketika satu orang tidak menjalankan protokol pencegahan, dia dapat menulari orang lain, dan orang lain tersebut dapat menulari lebih banyak orang lagi yang bisa mengakibatkan virus ini mewabah di Riau serta sistem dan tenaga kesehatan di Riau kewalahan menghadapinya. 

Ketika ada satu orang positif covid-19, dokter dan perawat akan merawatnya, apoteker akan memberi obatnya, tim penelitian epidemiologis akan turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan terhadap kontak eratnya dan kemana saja ia pergi, dan masih banyak lagi. Tidak sesimpel “kalau tertular nanti bisa sembuh”.

Juga jangan berpikiran “Dia saja tidak pakai masker”, “Orang itu bisa curi-curi mudik”, dan pikiran-pikiran yang membawa contoh orang lain melakukan hal yang salah. Di saat seperti ini, kita bertanggungjawab atas kesehatan sendiri. 

Ingatkan mereka yang belum menjalankan protokol kesehatan. Kalau mereka “bebal”, setidaknya kita sudah menyelamatkan diri sendiri dan keluarga dengan menjalankan protokol kesehatan.

Masyarakat adalah garda terdepan penanganan virus ini. Kalau kita mau beraktifitas kembali, kalau kita mau ekonomi kita kembali normal, kalau kita mau beribadah bersama-sama lagi, tolong di rumah saja atau keluar rumah dengan pakai masker dan jaga jarak. 

Mari sama-sama ikuti PSBB dan jalankan protokol pencegahan covid-19. Karena pembatasan ini terjadi akibat dampak dari pandemi. Agar dampaknya segera hilang, kita harus segera selesaikan akar masalahnya, yaitu pandemi. Bukan malah mengabaikan pandemi dan berkata “you only live once”.

Itulah ikhtiar yang bisa kita lakukan untuk mencegah penyebaran virus ini, untuk menjaga diri sendiri, menjaga keluarga kita, membantu tenaga kesehatan, dan menjaga kesehatan masyarakat. Karena, PSBB dan apa yang kita lakukan hari ini semata-mata untuk menjaga kehidupan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat agar tetap bisa bersama untuk lebaran-lebaran di tahun berikutnya.***

Mimi Yuliani Nazir. Penulis adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, dan berdomisili di Pekanbaru.