Kanal

Eksekusi Lahan di Siak Jadi Kontroversi, Pakar Nilai Harus di Enclave

RIAUIN.COM - Proses Constatering dan Eksekusi lahan perkebunan sawit di Desa Dayun, Kabupaten Siak, Riau sudah terlaksana pada Senin (12/12/2022) kemarin. Namun, usai pelaksanaan eksekusi di lahan seluas 1.300 hektar oleh Pengadilan Negeri Siak itu masih menuai polemik dengan masyarakat pemegang Sertipikat.

Pakar dan Ahli Hukum Pidana Independen, Dr Robintan Sulaiman SH MH MA MM CLA menjelaskan terkait kontroversi Constatering (pencocokan) dan Eksekusi tersebut.

Dijelaskannya, pengertian eksekusi yang dikenal dalam Pengadilan itu merupakan proses kelanjutan setelah adanya putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht. 

"Eksekusi adalah upaya mencari kepastian hukum (rechtszekerheid) terhadap putusan yang sudah tetap tadi. Eksekusi merupakan satu perangkat yang melekat pada sistem pengadilan kita, eksekusi juga merupakan ultimum remedium. Maksudnya, ketika putusan sudah ada dan bersifat tetap namun tidak diselesaikan oleh para pihak dengan kekeluargaan atau dengan baik-baik. Maka, pihak pemenang perkara tersebut dapat memintakan eksekusi," jelas Dr Robintan Sulaiman melalui keterangannya di akun YouTube RSP Law Auditor, Jum'at (16/12/2022).

Menurut pengamatannya, pelaksanaan Eksekusi yang di lapangan sering terjadi bentrok karena pihak termohon eksekusi melakukan perlawanan secara fisik.

Disinilah peran aparat keamanan untuk membantu jalannya eksekusi. "Jadi tugasnya kepolisian itu adalah sesuatu keharusan ataupun kewajiban dari kepolisian untuk melakukan perlindungan hukum terhadap Pengadilan ataupun juga instansi-instansi yang lain, termasuk kita semua," paparnya.

Dalam hal ini, pihak kepolisian tidak bisa disalahkan dalam masalah ini. Hanya saja yang harus diperhatikan adalah, polisi tersebut harus juga mempelajari apa objek dari eksekusi tersebut.

"Contoh lahan perkebunan, itu harus dipaskan betul ya, yang disebut dengan Constatering tadi. Constatering adalah satu proses yang disebut dengan pencocokan. Pencocokan itu bukan hanya sekedar pencocokan tapi juga bicara masalah batas-batas. Utara dengan apa, Selatan dengan apa, timur dengan apa dan barat dengan apa," kata dia.

Disamping itu, kata Robintan, harus dipastikan bahwa lahan tersebut harus celar and clean dimana tidak ada hak-hak lain yang melekat di dalam objek eksekusi itu.

"Ada kepemilikan-kepemilikan yang sudah bersertipikat. Itu tidak bisa dengan serta merta dilakukan eksekusi sebelum itu clear. Artinya, harus tidak boleh ada hak-hak lain diatas itu, kalaupun ada itu harus di enclave (dikeluarkan). Termasuk juga ada ring belt yakni kawasan yang tidak boleh diganggu (karena, red) adanya sepadan dengan hutan lindung," terangnya.

Selain itu, yang tidak boleh dilakukan adalah ketika objek lahan yang akan dieksekusi itu sudah memiliki izin dari pemerintah (Sertipikat) untuk dienclave.

"Contoh misalnya perlindungan terhadap flora maupun fauna yang ada di situ. Jadi kalau misalnya ada seperti itu, eksekusi sebaiknya jangan dilakukan dulu karena akan berpotensi  punya masalah yang baru atau yang lain berkenaan dengan eksekusi," lanjut dia.

Robintan menyimpulkan, Constatering dan Eksekusi itu sah dilakukan sepanjang objeknya benar dan tidak ada hak-hak lain di atas tanah itu serta hal-hal yang berkenaan dengan hak-hak yang timbul dari keputusan pemerintah.

"Seperti yang saya sebut tadi, misalnya daerah aliran sungai (DAS), itu harus dienclave sebagaimana yang kita tahu.  Satu tempo memang terjadi konflik karena orang tidak memahami makna dari pada eksekusi," sebutnya.

"Eksekusi adalah merupakan rangkaian dari proses pengadilan menuju kepada kepastian hukum dan keadilan," tuturnya.

Ia menjelaskan, adapun alur proses eksekusi itu dimulai ketika panitera pengadilan yang ditunjuk sampai di lokasi eksekusi lalu membacakan. Detik itu juga akan terjadi penyerahan hak-hak yang diperoleh atas dasar gugatan yang sudah dimenangkan pemohon.

"Yang hadir itu pasti ya stakeholders, artinya siapa? Kalau dia perkebunan ya Dinas Perkebunan, BPN, dan pihak-pihak lain yang berkenaan dengan eksekusi tersebut. (Mereka, red) harus hadir disitu supaya menyaksikan bahwa sudah terjadi penyerahan dari negara kepada pihak yang menang di perkara tersebut," urainya.

"Kalau ini tidak hadir, ini yang disebut cacat administrasi atau mal administrasi. Itu tidak mengurangi substansi, namun harus dilakukan koreksi-koreksi seperlunya agar supaya tidak terjadi mal administrasi," ujarnya mengakhiri.

Untuk diketahui, lahan seluas 1.300 hektar tersebut disengketakan oleh PT Duta Swakarya Indah (DSI) selaku pemohon eksekusi dan PT Karya Dayun sebagai termohon. Namun, lahan tersebut bukanlah lahan milik PT Karya Dayun, melainkan lahan milik warga yang telah bersertipikat hak milik (SHM).

Ketua DPP LSM Perisai Riau, Sunardi SH didampingi Bidang Advokasi Roni Kurniawan SH MH mengatakan, terdapat 466 persil Sertipikat hak milik di lokasi lahan seluas 1.300 Ha tersebut.

"Sekali lagi saya katakan bahwa Sertipikat tersebut tentu memiliki dasar-dasar yang jelas, riwayat yang jelas dan itu sudah memenuhi aturan hukum. Terbukti pada tahun 2010, bahwa pemilik sertipikat pernah dilaporkan oleh pihak PT DSI di Polda Riau, akan tetapi laporan tersebut dihentikan karena tidak terbukti adanya pelanggaran hukum. Nah ini kan bisa menjadi rujukan atau pedoman hukum agar tidak muncul  informasi-informasi yang tidak benar alias miring," terang Sunardi.

Sesuai aturan hukum, yang dapat membatalkan Sertipikat Hak Milik itu hanya dua, pertama BPN itu sendiri dengan alasan hukum yang jelas, misalnya disitu ada pemalsuan. Kedua, yang bisa membatalkan SHM itu adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Disini sudah ada yurisprudensi, bahwa ketika PT DSI berupaya menggugat untuk membatalkan SHM terhadap surat yang ada di dalam ruang lingkup pelepasan kawasan milik PT DSI itu sendiri, disini jelas PT DSI itu kalah. Ini sudah berkekuatan hukum tetap sampai ke Peninjauan Kembali (PK)," tutur Nardi.-dnr

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler