Kanal

Sidang Praperadilan SPPD Fiktif BPKAD Kuansing, Saksi Ahli: Jaksa Tak Punya Kewenangan Hitung Kerugian Negara

RIAUIN.COM - Ahli Hukum Pidana Erdiansyah menyebutkan, hasil audit jaksa tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan, karena lembaga yang berwenang melakukan audit kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Hal tersebut disampaikan Erdiansyah saat diminta menjadi saksi ahli di Pengadilan Negeri (PN) Telukkuantan dalam sidang praperadilan perkara dugaan SPPD fiktif di Badan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kuansing, Kamis (1/4/2021).

“Saudara ahli jelaskan, apa kejaksaan memiliki kewenangan dalam melakukan audit kerugian negara,” tanya pengacara tersangka Hendra Ap. 

Erdiansyah menegaskan, hasil audit jaksa tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.

"Lembaga yang berwenang melakukan audit kerugian negara adalah BPK dan BPKP,” jelas Dosen Universitas Riau ini.

Dalam kasus dugaan SPPD fiktif BPKAD Kuansing, penyidik Kejaksaan Negeri Kuantan Singingi telah menetapkan Hendra Ap selaku tersangka. Penetapan itu karena jaksa mengaku telah mengumpulkan 2 alat bukti yang cukup untuk menjadikan Kepala BPKAD Kuansing itu sebagai tersangka.

Salahsatu barang bukti yang dijadikan alat bukti oleh penyidik kejaksaan itu ialah berupa uang tunai sebesar Rp493 juta yang disita kejaksaan hasil dari pengembalian dari 94 orang pegawai di BPKAD Kuansing.

Setelah dikembalikan ternyata uang tersebut dijadikan barang bukti oleh kejaksaan untuk menjerat Hendra Ap jadi tersangka. Pengembalian uang sebesar Rp493 juta tersebut merupakan hasil audit internal kejaksaan dalam menentukan kerugian negara dan bukan hasil audit BPK RI.

“Saudara ahli jelaskan bagaimana dasar atau prosedur penetapan seorang sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi apabila disangkakan melangar pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 UU Tipikor,” tanya Bangun Sinaga SH pengacara Hendra Ap.

Saksi ahli kembali menjelaskan, korupsi itu unsur pentingnya adalah kerugian negara. Jadi harus ada perhitungan kerugian keuangan negara baru bisa dikatakan orang benar atau sah ditetapkan tersangka. 

“Penetapan tersangka, orang yang melakukan tindak pidana sebagai dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, jika belum ada perhitungan kerugian keuangan negara dari BPK, maka penetapan tersangkanya tidah sah,” tegas Erdiansyah.

Dikatakannya, kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi hanya diberikan kewenangan penyidikan, sedangkan audit investigatif yang dilakukan kejaksaan dapat digolongkan kepada penyalahgunaan kewenangan. 

Ditambahkannya, hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) no 4 tahun 2016. Dalam surat edaran ini, menurut Erdiansyah, tertuang aturan yang menjelaskan bahwa dalam menghitung kerugian negara pada tindak pidana korupsi intansi yang berwenang yang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan  negara adalah BPK.

Ia juga menerangkan, prosedur penetapan seseorang sebagai tersangka dalam perkara dalam tindak pidana korupsi penyidikan harus menemukan adanya kerugian negara. 

“Itu harus dengan hitungan angka pasti yang dilakukan melalui BPK bukan inpektorat . Perbuatan melawan hukum itu harus dibuktikan dengan dua alat bukti salah satunya alat bukti pokok yakni kerugian negara,” jelas Erdiansyah.

Sidang perkara praperadilan tadi siang dengan agenda pembuktian dan mendengarkan keterangan saksi. Hendra Ap selaku pihak pemohon menghadirkan tiga orang saksi. Dan Jaksa selaku pihak termohon menghadirkan empat orang saksi.--hen.

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler